
Polri Tetapkan Adik Jusuf Kalla Tersangka Korupsi Proyek PLTU Kalbar

Jakarta, CNBC Indonesia - Korps Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Kortas Tipikor) Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) menetapkan Halim Kalla selaku Presiden Direktur PT BRN sebagai tersangka kasus korupsi pembangunan PLTU 1 Kalbar periode 2008-2018.
Halim Kalla adalah adik dari Wapres ke-10 dan 12 Jusuf Kalla (JK). Selain Halim Kalla, polisi juga menetapkan Dirut PLN periode 2008-2009 Fahmi Mochtar (FM) sebagai tersangka.
Kepala Kortas Tipikor Polri Irjen Cahyono Wibowo menyebut total ada empat orang tersangka yang ditetapkan penyidik dalam proses gelar perkara, pada Jumat (3/10/2025) kemarin.
"Tersangka FM (Fahmi Mochtar) sebagai Direktur PLN saat itu, pihak swasta HK (Halim Kalla) selaku Presiden Direktur PT BRN, RR selaku Dirut PT BRN dan HYL selaku Dirut PT Praba," ujarnya dalam konferensi pers, Senin (6/10/2025).
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Penindakan Kortas Tipikor Polri Brigjen Totok Suharyanto menjelaskan proyek pembangunan PLTU Kalbar ini terdapat penyalahgunaan wewenang hingga berujung mangkrak sejak tahun 2016.
Totok menjelaskan meskipun telah diberikan perpanjangan waktu melalui amandemen kontrak sebanyak 10 kali sampai dengan 2018, proyek PLTU itu tetap tidak berhasil diselesaikan dan bisa dimanfaatkan.
Ia mengatakan kasus ini bermula ketika PLN menggelar lelang pembangunan PLTU dengan sumber pembiayaan kredit komersial.
"Akan tetapi sebelum pelaksanaan lelang itu, diketahui bahwa pihak PLN melakukan permufakatan dengan pihak calon penyedia dari PT BRN dengan tujuan memenangkan PT BRN dalam Lelang PLTU 1 Kalbar," jelasnya.
Selanjutnya dalam pelaksanaan lelang, panitia pengadaan PLN meloloskan dan memenangkan KSO BRN, Alton dan OJSC meskipun tidak memenuhi syarat administrasi dan teknis.
Selain itu, penyidik juga menemukan indikasi bahwa perusahaan Alton dan OJSC tidak pernah tergabung dalam KSO yang dibentuk dan dikepalai PT BRN. Setelahnya pada 2009, KSO BRN mengalihkan pekerjaannya kepada PT PI tepat sebelum melaksanakan tanda tangan kontrak.
"Termasuk penguasaan rekening KSO BRN, dengan kesepakatan pemberian imbalan (fee) kepada pihak PT BRN," tuturnya.
"Pada saat dilaksanakan tanda tangan kontrak pada tanggal 11 Juni 2009, PLN belum mendapat pendanaan, dan mengetahui KSO BRN belum melengkapi persyaratan," imbuhnya.
Totok menjelaskan hingga batas berakhirnya kontrak pada 28 Februari 2012, KSO BRN dan PT PI baru mengerjakan total 57 persen proyek. Sementara setelah dilakukan amandemen kontrak hingga 31 Desember 2018, proyek masih belum diselesaikan atau baru mencapai 85,56 persen.
Ia menyebut KSO BRN dan PT PI beralasan proyek itu tidak bisa diselesaikan dengan dalih keuangan yang tidak mencukupi. Akan tetapi, kata dia, ditemukan adanya aliran transaksi keuangan dari rekening KSO BRN yang berasal dari pembayaran proyek kepada para tersangka.
"Bahwa KSO BRN telah menerima pembayaran dari PT PLN sebesar Rp323,19 miliar untuk pekerjaan konstruksi sipil dan sebesar USD62,4 juta untuk pekerjaan mechanical electrical," tuturnya.
Atas perbuatannya, Cahyo mengatakan pembangunan PLTU 1 Kalbar belum juga selesai dan tidak dapat dimanfaatkan oleh PLN. Sebagian besar kondisi bangunan dan peralatan juga terbengkalai, rusak dan berkarat.
"Total kerugian keuangan negaranya dengan kurs yang sekarang Rp1,35 triliun," jelasnya.
Artikel selengkapnya >>> Klik di sini
(miq/miq)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Prabowo Hadiri HUT ke-79 Bhayangkara, Ucapkan Terima Kasih ke Polri