Neraka Bocor! Dua Negara Asia Ini Catat Rekor Suhu Tertinggi

Thea Fathanah Arbar, CNBC Indonesia
02 September 2025 14:35
Gelombang panas melanda sejumlah wilayah di Jepang, Selasa (5/8/2025) waktu setempat. (REUTERS/Issei Kato)
Foto: Gelombang panas melanda sejumlah wilayah di Jepang, Selasa (5/8/2025) waktu setempat. (REUTERS/Issei Kato)

Jakarta, CNBC Indonesia - Jepang dan Korea Selatan mencatat musim panas terpanas sejak pencatatan suhu dimulai, seiring meningkatnya dampak perubahan iklim yang memicu pola cuaca ekstrem di berbagai belahan dunia.

Badan Meteorologi Jepang (JMA) melaporkan suhu rata-rata pada Juni-Agustus 2025 tercatat 2,36°Celcius di atas nilai standar. Angka tersebut menjadi rekor tertinggi sejak pengumpulan data dimulai pada 1898. Ini juga menjadi tahun ketiga berturut-turut dengan suhu musim panas terpanas di negara tersebut.

Di Korea Selatan, Badan Meteorologi setempat mencatat suhu rata-rata musim panas mencapai 25,7°Celcius, tertinggi sejak pencatatan dimulai pada 1973. Rekor sebelumnya terjadi pada 2024 dengan 25,6°Celcius.

Panas ekstrem berdampak langsung pada kesehatan masyarakat. Data Badan Penanggulangan Bencana dan Kebakaran Jepang menyebut 84.521 orang dirawat di rumah sakit akibat gelombang panas sejak Mei hingga Agustus, naik tipis dibanding periode yang sama tahun lalu.

Masao Nakano (80), pelari asal Tokyo, mengaku kesulitan menghadapi teriknya cuaca. "Ini gila. Ini semua buatan manusia, kan? Semua AC dan pembangkit listrik," ujarnya kepada AFP.

Senada dengan Nakano, Miyu Fujita (22), pengusaha muda asal Tokyo, menyebut kondisi panas membuat aktivitas masyarakat terbatas di dalam ruangan.

"Ketika saya masih kecil, musim panas adalah waktu untuk bermain di luar. Sekarang, saya rasa itu mustahil," katanya.

Fenomena iklim ekstrim juga mempengaruhi lingkungan Jepang. Mekarnya bunga sakura menjadi tidak teratur, sementara tutup salju di Gunung Fuji tercatat muncul paling lambat dalam sejarah pada November tahun lalu.

Korea Selatan pun menghadapi tantangan serupa. Kota Gangneung yang berpenduduk 200.000 orang dinyatakan dalam keadaan bencana nasional setelah mengalami kekeringan berkepanjangan. Tingkat air waduk Obong, sumber utama air ledeng kota, turun di bawah 15%, memaksa otoritas mematikan 75% meteran rumah tangga.

Kim Hae-dong, profesor meteorologi Universitas Keimyung, menjelaskan tren ini erat kaitannya dengan pemanasan global. "Melemahnya udara dingin Arktik akibat pemanasan global memicu cuaca panas ekstrem. Pola ini kemungkinan besar terulang tahun depan," jelasnya.

Ilmuwan global menegaskan gelombang panas akan semakin intens dan sering terjadi akibat perubahan iklim yang dipicu aktivitas manusia. Data Badan Kelautan dan Atmosfer Nasional AS (NOAA) menunjukkan Eropa mengalami pemanasan tercepat sejak 1990, disusul Asia.

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) bahkan memperingatkan lonjakan suhu global akan menekan produktivitas tenaga kerja, dengan estimasi penurunan 2-3% untuk setiap kenaikan suhu 1°C di atas 20°C.

 


(luc/luc)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Waspada 'Neraka Bocor' Hantam Jepang, Korban Tewas Mulai Berjatuhan

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular