Catatan Kritis Akademisi Hingga Pengusaha Soal RAPBN 2026, Simak!

Zahwa Madjid, CNBC Indonesia
01 September 2025 20:10
ASUMSI MAKRO EKONOMI RAPBN 2026
Foto: infografis/ASUMSI MAKRO EKONOMI RAPBN 2026/ Aristya rahadian

Jakarta, CNBC Indonesia - Para alumni Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia menilai terdapat berbagai tantangan terhadap sejumlah target dan kebijakan yang dirancang dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja (RAPBN) 2026.

Melansir keterangan resmi dalam acara Ikatan Alumni Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (ILUNI FEB UI), Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara yang juga alumni FEB UI menjelaskan bahwa kebijakan RAPBN 2026 dirancang berdasarkan refleksi dari pelaksanaan APBN tahun 2025.

Khususnya melalui efisiensi dan rekonstruksi belanja APBN untuk mendukung program prioritas Presiden Prabowo Subianto.

"Untuk 2026, strategi fiskal diarahkan pada penguatan ketahanan pangan, energi, pendidikan, kesehatan, koperasi dan UMKM, serta pelaksanaan program Makan Bergizi Gratis," ujar Suahasil dikutip Senin (1/9/2025).

Dari sisi capaian ekonomi, Suahasil menjelaskan APBN 2025 berhasil menjaga pertumbuhan ekonomi sebesar 5,12% pada kuartal II serta inflasi berada di level 2,37%. "Tidak banyak negara bisa tumbuh di atas 5% dengan inflasi di atas 2%," ujarnya.

Dalam diskusi, Ekonom FEB UI Vid Adrison menyoroti penurunan signifikan sebesar 24,8% untuk Transfer ke Daerah (TKD) pada RAPBN 2026 menjadi Rp650 triliun.

Menurutnya, penurunan tersebut akan berdampak besar kepada penerimaan Kabupaten/Kota, karena rata-rata porsi TKD dalam anggaran daerah sekitar 73%

"Menaikkan PBB menjadi opsi yang dipilih Pemda, tapi ini membebani masyarakat dan memicu protes di daerah," jelasnya.

Dirinya pun mempertanyakan apakah program MBG benar-benar mampu mendorong pertumbuhan ekonomi atau hanya memindahkan dana dari kantong orang tua ke pemerintah. Vid menekankan pentingnya memperbaiki kualitas governance dan institusi.

"Kualitas institusi dan tata kelola pemerintahan yg baik bisa meningkatkan kepercayaan masyarakat. Jika orang percaya, kegiatan ekonomi akan berkembang, uang akan berputar. Orang juga akan lebih rela membayar pajak kalau kualitas institusi dan tata kelola pemerintahan baik," ujarnya.

Sementara itu, Lenita Tobing alumni UI yang bekerja sebagai Managing Director & Senior Partner Boston Consulting Group menekankan perlunya pergeseran peran APBN dari sekadar sebagai payer menjadi enabler dan instrumen derisking.

Lenita mengusulkan konsep "sunset and swap" untuk mengalihkan subsidi konsumtif ke belanja produkif. Menurutnya, ABN seharusnya tidak crowd-out pembiayaan swasta, melainkan crowd-in melalui berbagai mekanisme.

"Daripada crowd-out pembiayaan swasta, APBN harus crowd-in lewat penjaminan, matching fund, green bonds, atau joint venture," ujarnya.

Lenita menambahkan, tata kelola harus berbasis outcome dengan monitoring ketat yang dikaitkan dengan anggaran. "Program sosial tetap ada, tapi tepat sasaran dan mengecil otomatis saat indikator membaik," tegasnya.

Selain itu Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Kamdani menyoroti salah satu tantangan industri nasional yang masih bergantung pada impor bahan baku, "Kita ingin mendorong hilirisasi dan menjadi basis ekspor, tetapi kemandirian industri belum sepenuhnya terbangun. Untuk itu, diperlukan pembenahan di sektor upstream." ungkapnya. Ia menilai Indonesia masih terjebak dalam high cost economy, mulai dari logistik, energi, pembiayaan, hingga produktivitas tenaga kerja yang kalah saing dengan negara tetangga ASEAN.

Shinta menambahkan, setiap tahun terdapat tambahan sekitar 2-3 juta angkatan kerja baru, namun keterbatasan daya serap sektor formal membuat banyak di antaranya lari ke sektor informal.

"Kita harus mendorong reformasi kebijakan struktural yang berfokus pada job creation. Dengan fokus pada penciptaan dan perluasan kesempatan kerja, Indonesia tidak hanya mampu mengurangi tekanan informalitas, tetapi juga dapat mengoptimalkan bonus demografi yang dimiliki," jelasnya.

Dewan Guru Besar FEB UI Mohamad Ikhsan menyoroti ruang belanja APBN makin sempit akibat dominasi belanja wajib, terutama pembayaran bunga utang. Jika belanja produktif tidak diperbesar maka utang tanpa pertumbuhan akan berlanjut.

Sementara itu di sisi lain Ikhsan menyoroti rendahnya basis pajak, yakni sekitar 85% penerimaan Pajak Penghasilan (PPh) berasal dari hanya 15% wajib pajak. Dirinya juga menambahkan bahwa program populis tidak selalu mampu dikonversi menjadi peningkatan penerimaan di masa depan, dan strategi pertumbuhan berbasis utang (debt-led grwth) yang gagal akan mempersempit ruang fiskal.

"Kita harus hati-hati dengan kebijakan populis yang biayanya besar tapi minim manfaat jangka panjang," ujarnya.


(mij/mij)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Sri Mulyani Lapor ke Prabowo, Defisit APBN 2025 Bengkak Jadi 2,78%

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular