Pekerjaan Formal Kian Langka, Menkeu Era Jokowi Buka Suara

Arrijal Rachman , CNBC Indonesia
20 August 2025 07:55
Penasihat Khusus Presiden Bidang Ekonomi & Pembangunan, Bambang Brodjonegoro menyampaikan pemaparan dalam acara Digital Economic Forum di Jakarta, Selasa (25/2/2025). (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Foto: Dekan sekaligus CEO Asian Development Bank Institute (ADBI) Bambang Brodjonegoro (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Tekanan daya beli masyarakat Indonesia masih terus terjadi. Selain karena pendapatannya yang kerap tergerus inflasi bahan pangan, nominal riilnya juga terbilang minim dan tidak berkelanjutan karena mayoritas masyarakat bekerja di sektor informal.

Dekan sekaligus CEO Asian Development Bank Institute (ADBI) Bambang Brodjonegoro mengatakan permasalahan daya beli ini memang tak tampak bila hanya mengacu pada ukuran inflasi inti dalam komponen inflasi yang rendah. Sebagaimana pemerintah selalu mengacu pada tekanan inflasi inti dalam menilai daya beli masyarakat.

Sebab, yang mempengaruhi pendapatan riil masyarakat kata Bambang lebih cenderung ke inflasi bahan pangan bergejolak, karena setiap kenaikannya langsung menghantam sisi belanja yang terbebani.

"Ini yang kadang-kadang kemudian menimbulkan kekhawatiran bahwa harga pangan ini jangan-jangan akan menggerus daya beli dari masyarakat," kata Bambang yang merupakan menteri keuangan di era Presien Jokowi, dalam program Special Reports Merdeka CNBC Indonesia, Rabu (20/8/2025).

Bila merujuk angka garis kemiskinan Indonesia yang diukur Badan Pusat Statistik, pengeluaran minimum masyarakat untuk kebutuhan makanan memang selalu menjadi yang tertinggi ketimbang non makanan.

Dari nilai garis kemiskinan per Maret 2025 yang sebesar Rp 609.160 per kapita per bulan, komposisi untuk garis kemiskinan makanan mencapai Rp 454.299 atau setara 74,58% dan garis kemiskinan bukan makanan hanya Rp 154,861 atau porsinya hanya 25,42%.

Sementara itu, inflasi bahan pangan bergejolak masih menjadi yang tertinggi hingga catatan per Juli 2025. Besarannya mencapai 3,82% secara tahunan atau year on year (yoy). Komponen bahan makanan, minuman, dan tembakau memberi andil inflasi terbesar mencapai 1,08% dengan tekanan inflasi 3,75% yoy.

Komoditas utama penyumbang tekanan inflasi pada kelompok itu ialah beras, tomat, bawang merah, dan cabai rawit. Beras mengalami inflasi di tengah klaim pemerintah stok beras dan produksi melimpah.

"Kadang-kadang kita kurang memperhatikan di rantai perdagangan dan di distribusi fisiknya, sehingga kelihatannya produksinya cukup, tapi di lapangan, terutama di pasar, harganya relatif agak tinggi, dan stoknya juga kadang-kadang relatif terbatas," ujar Bambang.

Menurut Bambang, muara besarnya tekanan daya beli masyarakat yang kerap makin terhantam gejolak harga pangan disebabkan mayoritas kelas pekerjanya bergerak di sektor informal. Padahal, sektor informal tidak memberikan pendapatan yang berkelanjutan sebagaimana pekerja formal.

"Jadi jangan sekedar kita terus-terusan mengandalkan sektor informal sebagai buffer. Kita tentunya sangat menghargai keberadaan sektor informal yang bisa menjadi buffer ketika kondisi sedang sulit," ucap Bambang.

"Tapi ketika kondisinya memang membutuhkan para pekerja yang mendapatkan income yang cukup melalui sektor formal, maka yang harus di dorong adalah investasi," tegasnya.

RI Didominasi Pekerja Informal

BPS mencatat, kondisi penduduk bekerja di Indonesia berdasarkan statusnya memang masih didominasi pekerja informal, mencapai 59,40% atau setara 86,58 juta orang. Jumlah pekerja yang terserap pada kegiatan formal hanya sebesar 40,60% dari total penduduk bekerja per Februari 2025 atau 59,19 juta orang.

Porsi pekerja yang masuk ke kegiatan formal itu bahkan jauh lebih rendah dari catatan per Agustus 2024 yang sebanyak 42,05%, Februari 2024 masih sebanyak 40,83%, dan Agustus 2023 pun masih sebesar 40,89%%.

Untuk pekerja yang bekerja di kegiatan informal justru terus mengalami peningkatan porsinya. Sebab, lebih tinggi dibanding poorsi per Agustus 2024 sebesar 57,95%, Februari 2024 sebanyak 59,17%, dan Agustus 2023 sebesar 59,11%.

Bambang menjelaskan, untuk membuat lapangan kerja formal menjadi semakin marak di Indonesia, tak ada opsi lain bagi pemerintah selain mengandalkan aliran modal atau investasi masuk.

"Jadi penekanannya barangkali, kalau kita ingin menjaga daya beli masyarakat, yaitu konsumsi, maka yang harus dikejar adalah investasi. Karena dengan investasi itulah kita bisa menciptakan lapangan kerja," ungkap Bambang.

Investasi yang diarahkan supaya deras masuk tak lagi bisa hanya mengandalkan investasi padat modal, sebab yang dibutuhkan Indonesia saat ini ialah investasi pada modal, terutama sektor industri manufaktur yang bisa memberikan nilai tambah besar bagi perekonomian.

"Penekanan investasi haruslah pada sektor-sektor yang menciptakan lapangan kerja besar. Satu adalah sektor perumahan, kedua infrastruktur, terutama infrastruktur dasar dan digital, ketiga yang boleh saya tambahkan adalah manufaktur, sekaligus mencegah potensi deindustrialisasi," paparnya.


(arj/haa)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Setoran Belum Optimal, Kebijakan Pajak Harus Hati-Hati

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular