Sri Mulyani Cs Pakai Mesin Canggih Ini Khusus Awasi Kepatuhan Pajak

Arrijal Rachman , CNBC Indonesia
19 August 2025 08:20
Gedung Kementerian Keuangan Dirjen Pajak. (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Foto: Gedung Kementerian Keuangan Dirjen Pajak. (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Target setoran pajak pemerintah pada 2026 meroket 13,51% dari tahun ini senilai Rp 2.076,9 triliun menjadi Rp 2.357,71 triliun.

Nilai setoran pajak pada 2026 yang sebesar Rp 2.357,71 triliun itu paling besar berasal dari setoran pajak penghasilan (PPh) Rp 1.209,36 triliun atau naik dari 2025 Rp 1.051,65 triliun

Lalu, yang berasal dari Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah atau PPN & PPnBM sebesar Rp 995,27 triliun dari sebelumnya hanya Rp 890,94 triliun.

Pajak Bumi dan Bangunan atau PBB sebesar Rp 26,13 triliun, turun dari target 2025 sebesar Rp 30,08 triliun. Terakhir, dari pajak lainnya Rp 126,93 triliun dari sebelumnya Rp 104,23 triliun.

Komponen pajak lainnya mengalami peningkatan terbesar pada 2025 dan 2026, sebab, 2024 hanya senilai Rp 8,74 triliun dan 2023 hanya Rp 9,72 triliun. Pada 2022 bahkan hanya sebesar Rp 7,68 triliun atau bukan menjadi komponen penerimaan pajak yang targetnya sampai ratusan triliun seperti saat ini.

"Pada 2025 terdapat deposit yang merupakan kemudahan pembayaran bagi wajib pajak yang mendorong outlook penerimaan pajak lainnya tumbuh signifikan," dikutip dari dokumen RAPBN 2026, Selasa (19/8/2025).

Secara garis besar, pemerintah menargetkan setoran pajak yang tumbuh 13,51% itu dengan memperkuat pengawasan kepatuhan para wajib pajak, tanpa harus menaikkan tarifnya.

"Penerimaan pajak pada RAPBN Tahun 2026 diperkirakan mencapai Rp 2.357,71 triliun yang didukung oleh proyeksi perekonomian nasional dan kebijakan teknis pajak. Salah satu kebijakan teknis pajak adalam optimlaisasi compliance risk management dalam pengawasan kepatuhan wajib pajak," sebagaimana tertulis dalam dokumen RAPBN 2026.

Optimalisasi Compliance Risk Management (CRM) dalam Pengawasan Kepatuhan Wajib Pajak dilakukan pemerintah dengan sistem manajemen risiko yang bertujuan untuk mengidentifikasi, menilai, dan mengelola risiko ketidakpatuhan WP secara sistematis dan berkelanjutan.

CRM bertumpu pada pemahaman bahwa tidak semua WP memiliki potensi ketidakpatuhan yang sama. Oleh karena itu, pendekatan ini mendorong segmentasi WP berdasarkan tingkat risiko, sehingga memungkinkan pengawasan dilakukan secara lebih efisien dan tepat sasaran.

Melalui CRM, otoritas pajak dapat memetakan WP ke dalam kategori risiko tinggi, menengah, atau rendah, dengan mempertimbangkan berbagai indikator, seperti rekam jejak pelaporan pajak, transaksi bisnis, data pihak ketiga, dan perilaku kepatuhan historis.

Dengan klasifikasi ini, strategi pengawasan pun disesuaikan: WP risiko tinggi dapat menjadi prioritas pemeriksaan atau klarifikasi, sedangkan WP risiko rendah cukup diawasi melalui edukasi dan pengingat kepatuhan.

Untuk mendukung CRM, pemanfaatan teknologi informasi dan analisis data menjadi kunci utama. Pemerintah secara bertahap mengembangkan compliance risk engine, yaitu sistem yang memanfaatkan data dari SPT, e-Faktur, e-Bupot, data perbankan, hingga informasi ekspor-impor, untuk mendeteksi potensi ketidakpatuhan secara dini.

Melalui integrasi dengan sistem coretax dan analitik berbasis machine learning, potensi penyimpangan dapat dikenali bahkan sebelum pelanggaran terjadi.

Dengan demikian, pengawasan dapat beralih dari pendekatan reaktif menjadi preventif, mengurangi risiko pajak sebelum berkembang menjadi pelanggaran yang merugikan negara.

Implementasi CRM yang optimal juga menuntut sinergi lintas unit. Fungsi intelijen, pemeriksaan, pengawasan, penyuluhan, dan penegakan hukum harus berkoordinasi erat untuk merancang dan melaksanakan intervensi yang sesuai.

Sebagai contoh, hasil pemetaan risiko oleh fungsi intelijen dapat menjadi dasar bagi tim pengawasan untuk melakukan edukasi atau klarifikasi kepada WP, sementara hasil audit dapat dikembalikan sebagai masukan untuk penyempurnaan model risiko.

"Sinergi ini menciptakan alur kerja yang lebih adaptif dan responsif terhadap dinamika risiko ketidakpatuhan," tertulis dalam dokumen RAPBN 2026.

Namun, dalam dokumen RAPBN 2026 dituliskan bahwa keberhasilan CRM tidak hanya ditentukan oleh kecanggihan teknologi dan data. Intervensi yang dirancang harus proporsional dan berbasis pada pendekatan perilaku. Artinya, otoritas pajak perlu menyesuaikan metode penanganan dengan tingkat dan motif ketidakpatuhan.

WP yang tidak patuh karena ketidaktahuan atau kesalahan administratif misalnya sebaiknya dibina melalui edukasi dan asistensi. Sebaliknya, WP yang secara sadar menghindari pajak secara sistematis harus ditindak tegas melalui pemeriksaan dan penegakan hukum.

Evaluasi terhadap pelaksanaan CRM juga sangat penting. Efektivitas strategi pengawasan berbasis risiko harus diukur melalui berbagai indikator seperti peningkatan kepatuhan sukarela, penurunan tax gap, atau peningkatan pembayaran pasca intervensi.

Melalui evaluasi ini, sistem CRM dapat diperbaiki secara terus-menerus agar tetap relevan dengan perkembangan risiko yang dihadapi. Dengan menjadikan hasil pengawasan sebagai umpan balik, otoritas pajak dapat membangun siklus CRM yang adaptif dan berorientasi hasil.

Meskipun CRM menawarkan berbagai keunggulan, pelaksanaannya menghadapi sejumlah tantangan. Di antaranya adalah kualitas data yang belum optimal, keterbatasan kapasitas sumber daya manusia, serta perlunya integrasi sistem lintas fungsi.

Untuk mengatasi hal tersebut, diperlukan penguatan infrastruktur data, pelatihan teknis bagi pegawai, serta tata kelola CRM yang kuat agar pelaksanaan strategi ini berjalan secara konsisten dan akuntabel.

Pada akhirnya, optimalisasi CRM bukan hanya soal efisiensi pengawasan, tetapi juga soal membangun sistem perpajakan yang berkeadilan, berdaya tahan, dan dipercaya oleh publik. CRM memungkinkan otoritas pajak untuk bertindak secara terukur dan berbasis bukti, sehingga menciptakan iklim kepatuhan yang sehat di tengah masyarakat.

"Ke depan, CRM harus terus dikembangkan sebagai fondasi utama dalam transformasi sistem perpajakan Indonesia menuju administrasi yang modern, responsif, dan berkelanjutan," sebagaimana tertulis di dokumen RAPBN 2026.


(arj/haa)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Jelang Akhir Bulan Pelapor SPT Tahunan Tembus 9,67 Juta

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular