Ekonom Hitung Beban Besar Tarif Resiprokal 19% Trump ke Ekonomi RI

Arrijal Rachman , CNBC Indonesia
11 August 2025 13:15
Suasana aktivitas bongkar muat peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Kamis (26/9/2024). (CNBC Indonesia/Faisal Rahman)
Foto: Suasana aktivitas bongkar muat peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Kamis (26/9/2024). (CNBC Indonesia/Faisal Rahman)

Jakarta, CNBC Indonesia - Lembaga think tank Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia merilis hasil kajian dampak ekonomi dari kebijakan pengenaan tarif perdagangan resiprokal yang telah resmi dikenakan pemerintahan Presiden AS Donald Trump kepada Indonesia sebesar 19%.

Dalam laporan berjudul "Biaya Mahal Negosiasi Tarif" tim ekonom CORE Indonesia mencatat setidaknya tarif bea masuk sebesar 19% itu akan memberikan tekanan cukup berat terhadap perekonomian Indonesia, meskipun telah turun dari sebelumnya sebesar 32%. Tarif 19% telah berlaku sejak 7 Agustus 2025.

"CORE menilai detail kesepakatan yang dipublikasikan Gedung Putih justru menunjukkan biaya negosiasi yang sangat mahal bagi Indonesia," dikutip dari laporan CORE Indonesia itu, Senin (11/8/2025).

CORE mencatat, setidaknya ada tiga aspek yang merugikan Indonesia dari pengenaan tarif resiprokal itu ke Indonesia, meskipun pemerintah menganggap tarif 19% merupakan kemenangan negosiasi karena telah turun dari sebelumnya 32%.

Tarif 19% itu menurut tim ekonom CORE akan membuat ekspor Indonesia ke AS berkurang hingga US$ 9,23 miliar; kewajiban menghapus 99% tarif produk asal AS ke RI dan berbagai hambatan non-tarif akan melemahkan industri manufaktur domestik; dan ketimpangan komitmen yang berpotensi merugikan pelaku industri lokal.

"Bagi Indonesia, penerapan tarif resiprokal diperkirakan menurunkan kesejahteraan nasional sebesar - US$ 3,16 miliar. Penurunan ini terutama disebabkan oleh berkurangnya konsumsi ekspor Indonesia di pasar AS, yang memangkas surplus produsen, khususnya pada produk-produk utama yang diekspor ke AS," tulis tim ekonomi CORE Indonesia dalam laporannya.

Khusus untuk potensi tekanan terhadap ekspor Indonesia, kajian CORE Indonesia didasari dari besarnya nilai akumulasi tarif resiprokal dan tarif dasar yang sebelumya sudah berlaku ke Indonesia.Tarif resiprokal mereka definisikan sebagai pungutan tambahan seperti pajak dan biaya lain di luar bea masuk, yang dikenakan secara spesifik dan lebih tinggi pada barang impor dari sejumlah negara.

Tim ekonom CORE memberikan contoh besarnya akumulasi tarif ini, misalnya untuk komoditas produk alas kaki dan sepatu Indonesia (kode HS: 64) yang sudah dikenai tarif bea masuk 12%, dan akan ditambah dengan tarif resiprokal 19%, sehingga totalnya akan menjadi 31% tarifnya.

Besaran tarif itu secara kasat mata mereka sebut memang setara dengan yang dikenakan ke Filipina dan Malaysia. Begitu juga untuk produk elektronik, tarif total Indonesia hanya 19% (0% tarif saat ini + 19% tarif resiprokal), lebih rendah dibanding Vietnam dan Malaysia yang masing-masing dikenai 21% dan 20%.

Namun, sebagai anggota penuh BRICS, Indonesia masih berisiko dikenai tambahan tarif 10%, yang akan menggerus daya saing ekspor Indonesia dibandingkan negara lain. produk elektronik Indonesia berpotensi menanggung tarif hingga sebesar 29%, jauh lebih tinggi dari tarif produk elektronik Vietnam yang hanya 21%, Filipina (19%), dan Malaysia (20%). Begitu juga untuk produk alas kaki dan sepatu Indonesia, total tarifnya bisa mencapai 41%.

Kalaupun Indonesia tidak bergabung dengan blok BRICS, tim ekonom CORE Indonesia mencatat, produk ekspor Indonesia juga sebetulnya berpotensi kalah saing dengan produk asal Vietnam, Filipina, dan Malaysia. Sebab, biaya produksi dan biaya logistik di Indonesia jauh lebih mahal.

Biaya logistik Indonesia mencapai 23,5% dari total PDB Indonesia, sedang Vietnam hanya berkisar 16,8%, Filipina (13%), dan Malaysia (13%). Tingginya persentase biaya logistik Indonesia ini juga tercermin dari skor Logistics Performance Index (LPI) dan komponen International Shipments Score (ISS) yang keduanya memiliki nilai lebih kecil ketimbang skor Malaysia, Vietnam, dan Filipina.

Semakin kecil nilai LPI dan ISS, semakin mahal biaya untuk mengirim barang dari suatu negara ke pasar internasional. Skor LPI Indonesia hanya senilai 3, sedangkan Malaysia 3,6, Vietnam 3,3, dan Filipina 3,3. Demikian juga untuk ISS Indonesia yang skornya hanya 3, sedangkan Malaysia 3,7, Vietnam 3,3, dan Filipina 3,1.

Penurunan ekspor menurut tim ekonom CORE Indonesia juga bisa dijelaskan dari sisi permintaan (demand side) di AS. Hasil simulasi mereka menunjukkan bahwa pengenaan tarif resiprokal akan menyebabkan inflasi di AS sekitar 7%.

"Inflasi tersebut akan menurunkan purchasing power (daya beli) konsumen sehingga permintaan terhadap produk-produk yang berbasis kebutuhan sekunder akan menurun termasuk permintaan terhadap produk garmen, pakaian, dan alas kaki yang menjadi ekspor utama Indonesia ke AS," tulis tim ekonom CORE Indonesia dalam laporannya.


(arj/haa)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article 'Kado Lebaran' dari Trump, Perang Dunia Tarif di Depan Mata

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular