Tanah Terlantar 2 Tahun Bakal Diambil Negara, Petani Sawit Buka Suara

Aziza Zahwa Layla Madjid, CNBC Indonesia
10 August 2025 21:00
Panen tandan buah segar kelapa sawit di kebun Cimulang, Candali, Bogor, Jawa Barat. Kamis (13/9). Kebun Kelapa Sawit di Kawasan ini memiliki luas 1013 hektare dari Puluhan Blok perkebunan. Setiap harinya dari pagi hingga siang para pekerja panen tandan dari satu blok perkebunan. Siang hari Puluhan ton kelapa sawit ini diangkut dipabrik dikawasan Cimulang. Menurut data Kementeria Pertanian, secara nasional terdapat 14,03 juta hektare lahan sawit di Indonesia, dengan luasan sawit rakyat 5,61 juta hektare. Minyak kelapa sawit (CPO) masih menjadi komoditas ekspor terbesar Indonesia dengan volume ekspor 2017 sebesar 33,52 juta ton. (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Foto: Panen tandan buah segar kelapa sawit di kebun Cimulang, Candali, Bogor, Jawa Barat (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Kebijakan pemerintah terkait pengambilalihan tanah yang tidak dimanfaatkan selama dua tahun menuai pro dan kontra di masyarakat. Pengurus DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO), Akhmad Indradi mengatakan dirinya mendukung penertiban tanah terlarang sesuai dengan PP Nomor 20 Tahun 2021, namun pelaksanaanya harus memenuhi sejumlah syarat agar adil dan bermanfaar bagi masyarakat.

Akhmad menilai pemerintah harus terlebih dahulu mendorong dan memfasilitasi upaya pemanfaatan tanah oleh masyarakat. Misalnya bagi area yang terpencil dan kesulitan akses jalan, maka pemerintah harus memfasilitasi pembangunan jalan yang layak.

"Di Kalimantan khususnya, masyarakat itu tidak mampu mengelola lahan miliknya secara berkelanjutan karena tidak ada akses jalan produksi untuk mengangkut hasil pertanian dan perkebunan," ujar Akhmad dalam keterangannya, Minggu (10/8/2025).

Banyak masyarakat yang hanya mampu membuka dan menanami satu dua kali saja tanaman padi gunung sampai kesuburannya berkurang, setelah itu dibiarkan terlantar. Padahal lahan itu sangat potensial ditanami tanaman perkebunan/pertanian yang bisa menyejahterakan dalam jangka panjang, misalnya sawit, karet, kakao, pisang dan sayuran.

Selain akses jalan yang layak, Akhmad menilai pemerintah juga harus membimbing dan memfasilitasi usaha-usaha yang sesuai dengan potensi daerah dan kebutuhan pasar, misalnya dengan bantuan bibit, permodalan, pelatihan, dan lainnya.

Seorang petani kelapa sawit (kanan) dan konsultan Wild Asia mendiskusikan ide pertanian berkelanjutan di perkebunan dekat Johor, Malaysia 22 Maret 2018. Yayasan Thomson Reuters / Michael TaylorFoto: Thomson Reuters Foundation / Michael Taylor
Seorang petani kelapa sawit (kanan) dan konsultan Wild Asia mendiskusikan ide pertanian berkelanjutan di perkebunan dekat Johor, Malaysia 22 Maret 2018. Yayasan Thomson Reuters / Michael Taylor

"Pada sisi lain, masyarakat juga harus proaktif dan bersungguh-sungguh mengupayakan pemanfaatan lahannya, misalnya membuat proposal pembangunan jalan dan kegiatan-kegiatan awal sebagai bukti keseriusan dalam mengelola lahan," ujarnya.

Kedua, Akhmad menyoroti tingginya biaya sertifikasi tanah. Dirinya menjelaskan di Kalimantan harga tanah per hektare hampir sama dengan biaya pembuatan sertifikat.

"Harga tanah 8 juta per ha, sedangkan biaya perolehan sertifikat tanah sekitar Rp 6-7 juta per bidang. Kalau pemerintah tidak mampu melanjutkan program PTSL /Prona, ya setidaknya biaya sertifikasi mandiri harus dibuat murah. BPN kan sudah digaji, difasilitasi dan dibiayai negara tapi kok masyarakat bikin sertifikat aja harus bayar mahal, ini kan ironis," ujarnya.

Selain itu, mekanisme dan langkah-langkah penertiban itu harus dijalankan sesuai aturan dan memberikan rasa keadilan bagi masyarakat. Jika tidak maka akan terjadi keresahan, kericuhan, konflik sosial dan sikap tidak percaya masyarakat pada pemerintah.

"Proses sosialisasi juga harus dilakukan dengan benar, berikan waktu yang cukup dan memastikan masyarakat paham aturan tersebut. Jangan asal main pasang plang saja seperti Satgas PKH dalam penertiban kawasan hutan padahal belum dilaksanakan penetapan kawasan hutan sesuai tahapan dalam aturan yang ada," ujarnya.

Dirinya pun menilai pengambilan lahan harus memberikan rasa keadilan. Akhmad menilai sudah banyak kasus lahan masyarakat dirampas secara legal lalu diberikan kepada kaum elit /pengusaha besar dengan dalih sudah sesuai aturan atau demi proyek strategis nasional, apalagi dengan cara-cara yang represif.


(wur)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Ingat Warga RI! Tanah Terlantar Bisa Langsung Dikuasai Negara

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular