
India Sedang Dilema, Trump Ancam "Tuan Takur" karena Rusia

Jakarta, CNBC Indonesia - India sedang menghadapi dilema keseimbangan yang rumit setelah Presiden AS Donald Trump mengancam akan memberikan "denda" atas impor minyak Rusia yang berkelanjutan. Hal ini terjadi saat Delhi terjebak dalam hubungan yang memanas antara Washington dan Moskow akibat perang di Ukraina.
Sebelumnya, pada 30 Juli, Trump mengumumkan bahwa India akan menghadapi tarif 25% mulai 1 Agustus. Selain itu, Gedung Putih juga menjatuhkan "denda" yang tidak disebutkan jumlahnya jika tetap membeli minyak dan peralatan militer Rusia.
Meskipun Trump mengatakan kepada wartawan pada hari Jumat bahwa ia "mendengar" India akan menghentikan pembelian, para pejabat di New Delhi tetap tidak memberikan komitmen. Juru bicara kementerian luar negeri, Randhir Jaiswal, mengatakan bahwa negara tersebut memutuskan sumber impor energinya "berdasarkan harga minyak yang tersedia di pasar internasional dan tergantung pada situasi global saat itu."
"India pasti mengalami kebingungan setelah ancaman Trump yang menjadi sebuah kebalikan dari pendekatan yang lebih toleran di bawah pemerintahan Biden," kata presiden perusahaan konsultan Rapidan Energy Group, Bob McNally, kepada "Squawk Box Asia" CNBC International, dikutip Selasa (5/8/2025).
"Sekarang kita berbalik arah dan berkata, 'Apa yang kalian lakukan dengan mengambil semua minyak Rusia ini?'" ujar McNally.
Para analis berpendapat bahwa India, yang merupakan konsumen energi terbesar ketiga di dunia, tidak bergeming untuk saat ini. Reuters melaporkan bahwa tidak ada perubahan segera yang direncanakan terhadap kontrak jangka panjang India dengan pemasok Rusia.
Rusia telah menjadi pemasok minyak utama bagi India sejak perang di Ukraina dimulai, meningkat dari hanya di bawah 100.000 barel per hari sebelum invasi, atau 2,5% dari total impor, menjadi lebih dari 1,8 juta barel per hari pada tahun 2023, atau 39%. Menurut Badan Energi Internasional (IEA), 70% minyak mentah Rusia diekspor ke India pada tahun 2024.
Menteri Energi India, Hardeep Singh Puri, membela tindakan New Delhi dalam sebuah wawancara sebelumnya dengan laman yang sama. Hal itu membantu menstabilkan harga global dan bahkan didorong oleh AS.
"Jika orang atau negara berhenti membeli pada tahap itu, harga minyak akan naik hingga US$ 130 dolar per barel (sekitar Rp2.133.000 per barel). Itu adalah situasi di mana kami disarankan, termasuk oleh teman-teman kami di Amerika Serikat, untuk membeli minyak Rusia, tetapi dalam batas harga," jelasnya.
Ekspor minyak Rusia telah dibatasi seharga US$ 60 per barel (sekitar Rp984.000 per barel) pada Desember 2022 oleh negara-negara Kelompok Tujuh, yang mewakili ekonomi-ekonomi teratas dunia, sementara Uni Eropa telah menurunkan batas harga menjadi sedikit di atas US$ 47 per barel (sekitar Rp770.800 per barel) pada bulan Juli.
Meskipun demikian, tekanan terus meningkat. Vishnu Varathan, Managing Director di Mizuho Securities, mengatakan bahwa ancaman AS menimbulkan "bahaya nyata dan langsung" bagi India. Ia mengatakan bahwa New Delhi kemungkinan akan tetap tidak berkomitmen pada pembelian minyak karena sedang menilai kompromi dari "opsi Rusia" ini sebagai alat tawar-menawar.
"India perlu mencari di pasar global untuk penawaran minyak yang sebanding dengan minyak Rusia," tambah Varathan, yang juga merupakan kepala penelitian makro untuk Asia di luar Jepang.
"New Delhi dapat menjajaki alternatif, termasuk Iran-jika pengecualian dari AS dapat dinegosiasikan-serta beberapa produsen lain "baik di dalam maupun di luar OPEC+ yang telah ditekan oleh AS."
(tps/sef)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article India Tawarkan Pinjaman Murah untuk Senjata, Incar Pelanggan Rusia
