
'Rohana' dan 'Rojali' Bikin Heboh, Begini Gaya Belanjanya di Mal

Jakarta, CNBC Indonesia - Pusat perbelanjaan di Indonesia tengah diserbu dua fenomena konsumen yang menarik perhatian, yakni Rohana atau rombongan hanya nanya, dan Rojali alias rombongan jarang beli. Meski pusat perbelanjaan kini terlihat ramai, namun gaya dan pola belanja kelompok ini justru mencerminkan tren konsumsi masyarakat yang berubah, dan berdampak pada omzet mal secara keseluruhan.
Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI), Alphonzus Widjaja mengungkapkan, kehadiran pengunjung yang hanya bertanya-tanya atau melihat-lihat tanpa melakukan transaksi sejatinya merupakan perilaku yang wajar dalam dunia ritel konvensional.
"Saya kira di pusat perbelanjaan itu kan sifatnya adalah offline. Kalau offline itu kan pasti terjadi interaksi, tawar-menawar, nanya harga dan sebagainya. Saya kira itu umum, hal-hal yang wajar lah begitu," ujar Alphonzus saat ditemui di Pusat Grosir Cililitan (PGC), Jakarta, dikutip Senin (28/7/2025).
Menurutnya, kehadiran 'rohana' dan 'rojali' justru memperlihatkan bahwa pusat perbelanjaan tak sekedar tempat jual beli, tetapi juga ruang sosial yang mencakup hiburan dan edukasi bagi masyarakat.
"Fungsi pusat belanja itu kan bukan cuma sekedar belanja, ada faktor edukasi, ada faktor entertainment-nya, ya hiburan dan sebagainya. Jadi inilah yang menyebabkan selalu ada fenomena rojali dari waktu ke waktu," jelasnya.
Namun, di balik ramainya kunjungan, Alphonzus tidak menampik omzet tenant mengalami penurunan, terutama karena pergeseran pola konsumsi di kalangan kelas menengah bawah. Masyarakat kini cenderung membeli produk dengan harga satuan murah.
![]() Suasana pengunjung di Pusat Perbelajan Kota Kasablanka, Jakarta, Kamis (26/6/2025). (CNBC Indonesia/Faisal Rahman) |
"Pasti (ada penurunan omzet), karena kan sekarang masyarakat kelas menengah bawah cenderung beli barang atau produk yang harga satuannya, atau unit price-nya murah. Itu terjadi penurunan, pasti," ungkapnya.
Ia menambahkan, meski daya beli menurun, jumlah kunjungan ke mal tidak serta-merta ikut turun. Masyarakat tetap datang, tetapi gaya belanjanya yang menjadi jauh lebih selektif.
"Kan daya belinya berkurang, uang yang dipegang semakin sedikit. Tapi mereka tetap datang ke pusat perbelanjaan. Makanya data APPBI menyatakan bahwa jumlah kunjungan ke pusat perbelanjaan tetap naik, meskipun tidak signifikan. Tetapi yang berubah itu kan pola belanjanya," katanya.
"Kalau tidak perlu, tidak (beli), ya. Kemudian, kalaupun belanja, beli barang produk yang harga satuan, yang unit price-nya murah. Itu yang terjadi," imbuh Alphonzus.
Sementara itu, untuk konsumen dari kalangan menengah atas, ia menjelaskan bahwa kehati-hatian menjadi faktor utama. Mereka lebih selektif dalam membelanjakan uang, terutama di tengah ketidakpastian ekonomi global.
"Kalau yang di kelas menengah atas, penyebabnya misalkan mereka lebih kehati-hatian dalam berbelanja. Apalagi kalau ada pengaruh makroekonomi, mikroekonomi dari global, sehingga mereka memilih antara belanja atau investasi," ujarnya.
APPBI memperkirakan sektor pusat belanja nasional tetap akan tumbuh pada tahun 2025, namun tidak sekuat ekspektasi awal. Proyeksi pertumbuhan hanya berkisar satu digit atau di bawah 10%.
"APPBI memprediksi tahun 2025 ini tetap tumbuh dibandingkan tahun lalu. Tumbuhnya, tapi tidak signifikan. Paling single digit. Single digit artinya kurang dari 10%. Tapi tetap tumbuh," kata Alphonzus.
Padahal, target awal pertumbuhan omzet pusat perbelanjaan sempat dipatok cukup tinggi, yakni di angka 20-30%. "Target kita sebenarnya 20-30%," pungkasnya.
Ditanyai terpisah, Ketua Umum Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (HIPPINDO) Budihardjo Iduansjah mengatakan ada sektor yang justru diuntungkan dari fenomena ini, yakni tenant makanan dan minuman. Bahkan menurutnya, sektor ini justru sudah mulai pulih dan mengalami pertumbuhan omzet penjualan sekitar 5% hingga 10% per bulan karena ada rohana dan rojali.
"Yang diuntungkan dari rojali sebenarnya ya sektor makanan dan minuman. Ritel kami yang dari makanan dan minuman, omzetnya sudah mulai naik lagi, ya sekitar 5%-10% per bulan," kata Budi saat ditemui wartawan di acara Inabuyer Expo 2025 di Gedung Smesco, Rabu (23/7/2025).
Menurutnya, para rohana dan rojali ini biasanya setelah melihat barang-barang di peritel mal cukup lama, mereka akan menuju ke restoran atau tempat makan untuk makan dan minum sembari melepas lelah.
"Setelah mereka berputar melihat-lihat sesuatu di mall, biasanya kan mereka lelah ya, nah setelah itu mereka nongkrong untuk makan atau ya sekadar minum karena haus kan, nah dari sini lah sektor makanan dan minuman yang paling diuntungkan di mal," ujar Budi.
Budi menambahkan, pelanggan akan lebih sungkan di restoran dibandingkan di gerai ritel seperti pakaian, alat elektronik, dan lain-lain.
"Mereka nongkrong pasti harus beli dong, minimal minumannya saja, tidak mungkin kalau tidak beli di situ," terangnya.
Sementara itu, tingkat okupansi mall menurutnya juga sudah membaik, meski paling banyak dikunjungi oleh rojali.
"Ada kecenderungan masyarakat yang tadinya di rumah akibat pandemi, setelah pandemi sudah hilang, mereka ingin berinteraksi di luar rumah, baik dengan rekannya atau keluarganya. Alhasil mereka mencari tempat untuk nongkrong," ungkapnya.
(wur)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article 'Rojali' Cuma Lihat-Lihat dan Makan di Mal, Beli Barangnya di Online
