Rencana Prancis Akui Palestina Bikin Geram Timur Tengah, Eropa dan AS

Zefanya Aprilia, CNBC Indonesia
26 July 2025 19:52
Presiden Prancis Emmanuel Macron tiba di pangkalan udara militer Halim Perdanakusuma, Jakarta, Selasa (27/5/2025). (REUTERS/Ajeng Dinar Ulfiana)
Foto: Presiden Prancis Emmanuel Macron tiba di pangkalan udara militer Halim Perdanakusuma, Jakarta, Selasa (27/5/2025). (REUTERS/Ajeng Dinar Ulfiana)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pengumuman Presiden Emmanuel Macron bahwa Prancis akan mengakui negara Palestina pada bulan September mendatang, telah memicu pertikaian diplomatik dari Timur Tengah, Eropa, hingga Washington. Keputusan itu akan membuat Prancis menjadi anggota Barat pertama Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang mengakui Palestina.

Namun, hal ini tidak terjadi begitu saja. Mengutip Reuters, ketika Macron mengunjungi kota Al-Arish di Mesir yang berbatasan dengan Gaza pada bulan April, ia dikejutkan oleh krisis kemanusiaan yang semakin meningkat. Sekembalinya ke Prancis, ia menegaskan bahwa Paris akan segera memilih pengakuan terhadap Palestina.

Bekerja sama dengan Arab Saudi, Macron mengajukan rencana agar Prancis beserta sekutu G7, Inggris dan Kanada, mengakui kenegaraan Palestina, sekaligus mendorong negara-negara Arab untuk mengambil sikap yang lebih lunak terhadap Israel melalui konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Namun, meskipun telah berminggu-minggu berunding, ia gagal mengajak negara lain untuk bergabung.

Tiga diplomat mengatakan London tidak ingin menghadapi kemarahan Amerika Serikat, dan Ottawa mengambil sikap serupa, sehingga Macron harus bertindak sendiri.

"Semakin jelas bahwa kami tidak sabar untuk mendapatkan mitra," kata seorang diplomat Prancis kepada Reuters, dikutip Sabtu (26/7/2025).

Ia menambahkan bahwa Prancis akan berupaya untuk menggandeng lebih banyak negara sebelum konferensi mengenai solusi dua negara untuk konflik Israel-Palestina pada bulan September.

Di dalam negeri, Macron berada di bawah tekanan yang meningkat untuk bertindak di tengah kemarahan yang meluas atas gambar-gambar mengerikan yang muncul dari Gaza. Meskipun Prancis adalah negara dengan komunitas Muslim dan Yahudi terbesar di Eropa dan lanskap politik yang terpolarisasi, tidak ada tindakan yang jelas yang akan memuaskan semua pihak.

Sementara itu, Israel dan pendukung setianya, Amerika Serikat (AS), mengecam langkah Prancis, menyebutnya sebagai hadiah bagi kelompok militan Palestina, Hamas, yang menguasai Gaza dan yang serangannya terhadap Israel pada 7 Oktober 2023 yang memicu perang saat ini.

Macron telah membahas masalah ini secara ekstensif dengan Trump dan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu sebelumnya.

Trump mengatakan pada hari Jumat bahwa keputusan Prancis tidak "berpengaruh" tetapi menambahkan Macron adalah "orang baik".

Rencana Konferensi

Para pejabat Prancis sebelumnya mempertimbangkan pengumuman pada konferensi yang dijadwalkan pada bulan Juni di PBB, yang diselenggarakan bersama oleh Prancis dan Arab Saudi, untuk menyusun peta jalan menuju negara Palestina yang layak sekaligus memastikan keamanan Israel.

Namun, konferensi tersebut ditunda di tengah tekanan diplomatik AS yang intens dan setelah serangan udara Israel terhadap Iran.

Pengumuman Macron pada hari Kamis terkait dengan versi konferensi PBB yang dijadwal ulang dan diubah, yang sekarang direncanakan berlangsung pada hari Senin dan Selasa.

Pertemuan tersebut akan berada di tingkat menteri, tetapi Paris memutuskan untuk mengadakan acara kedua dengan para kepala negara dan pemerintahan di sela-sela Sidang Umum PBB pada bulan September, di mana Macron akan mengumumkan pengakuan resmi.

Beberapa analis mengatakan Macron telah menggunakan iming-iming pengakuan untuk mendapatkan konsesi dari Mahmoud Abbas, presiden Otoritas Palestina yang merupakan pesaing moderat Hamas, dan para pemain regional lainnya.

"Macron di sini bertindak sebagai katalisator untuk mendorong Palestina mewujudkan reformasi yang dibutuhkan, untuk mendorong negara-negara Arab mewujudkan pasukan stabilisasi dan pelucutan senjata Hamas," kata Rym Momtaz, pemimpin redaksi blog Strategic Europe yang dikelola oleh lembaga kajian Carnegie Europe.

Yang lain mengatakan meskipun pengakuan memiliki nilai simbolis, tetap tidak akan ada negara Palestina yang berfungsi ketika perang di Gaza berakhir.

"Pengakuan oleh negara adidaya Eropa seperti Prancis menunjukkan meningkatnya rasa frustrasi terhadap kebijakan Israel yang keras kepala," kata Amjad Iraqi, analis senior di International Crisis Group.

"Apa gunanya mengakui sebuah negara jika mereka tidak berbuat banyak untuk mencegahnya berubah menjadi reruntuhan?"

Para pejabat Prancis menunjukkan lobi Israel yang intens selama berbulan-bulan untuk mencoba mencegah langkah Macron-dan kritik keras Netanyahu terhadapnya-sebagai bukti bahwa hal itu sangat berarti bagi para pemimpin Israel. Sumber-sumber yang memahami masalah ini mengatakan peringatan Israel kepada Prancis berkisar dari pengurangan pembagian intelijen hingga mempersulit inisiatif regional Paris-bahkan mengisyaratkan kemungkinan aneksasi sebagian wilayah Tepi Barat.

Namun, para pejabat Prancis menyimpulkan bahwa Netanyahu akan tetap melakukan apa pun yang menurutnya sesuai kepentingannya di Tepi Barat, terlepas dari apa pun yang dilakukan Prancis terkait pengakuan tersebut.


(fsd/fsd)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Menlu Prancis Temui Prabowo, Bahas Kunjungan Macron ke RI Mei 2025

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular