
8 Juta Orang Dicoret Dari Daftar PBI JKN, Kriterianya Apa?

Jakarta, CNBC Indonesia - Sejumlah analis mempertanyakan kriteria yang digunakan pemerintah untuk menonaktifkan data 8 juta penerima bantuan sosial (bansos) berupa bantuan iuran jaminan kesehatan nasional (PBI JKN). Sebab, berisiko makin memperburuk kondisi kesejahteraan masyarakat bila salah kriteria.
Analis Senior Indonesia Strategic and Economics Action Institution Ronny P. Sasmita mengatakan, transparansi kriteria dalam perbaikan data penerima bansos menjadi sangat penting ketika langkah yang ditempuh ialah mengeluarkan seseorang dari daftar penerima bansos.
"Pesannya, tentu kriterianya harus jelas dan publik bisa mengetahui kriteria tersebut, agar publik juga bisa melakukan asesmen mandiri apakah mereka masuk kriteria atau tidak atau apakah tetangganya masuk kriteria atau tidak," kata Ronny kepada CNBC Indonesia, dikutip Rabu (16/7/2025).
Manajer Riset Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Seknas Fitra) Badiul Hadi juga mengatakan hal serupa. Namun, ia menekankan bila proses pemutakhiran data itu dilakukan dengan tidak didukung oleh mekanisme koreksi atau validasi ulang yang cepat dan adil, maka risiko salah eksklusi atau exclusion error akan meningkat.
"Dampaknya bisa sangat signifikan terhadap upaya penanggulangan kemiskinan. Banyak rumah tangga rentan yang bisa saja terlempar kembali ke bawah garis kemiskinan akibat kehilangan akses terhadap perlinsos, terutama layanan kesehatan melalui PBI JKN," kata Badiul
Sementara itu, Peneliti Next Policy Shofie Azzahrah menilai, bila sebagian dari 8 juta orang yang tersisih ternyata masih memenuhi kriteria miskin atau rentan miskin, maka mereka akan kehilangan perlindungan sosial yang selama ini menopang konsumsi dasar mereka.
"Hal ini dapat meningkatan tekanan ekonomi pada rumah tangga miskin, serta menurunkan daya beli dan kualitas hidup mereka," ungkap Shofie.
Oleh sebab itu, Shofie menekankan, penganuliran data 8 juta masyarakat yang selama ini menjadi PBI JKN lalu dicoret sebagai bentuk pemutakhiran data harus didasarkan pada indikator yang objektif dan bukti-bukti sahih, seperti data pengeluaran, kepemilikan aset, dan kondisi sosial ekonomi terkini.
"Jika rumah tangga yang tersisih ternyata masih masuk kriteria miskin, maka mereka harus segera dimasukkan kembali ke dalam daftar penerima melalui mekanisme pembaruan data yang cepat, transparan, dan akuntabel, guna mencegah dampak negatif terhadap upaya pengurangan kemiskinan dan menjaga stabilitas perlindungan sosial nasional," paparnya.
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Amalia Adininggar sebelumnya telah menjelaskan bahwa data jutaan PBI JKN yang tak lagi masuk ke dalam daftar didasari pada sejumlah kriteria, di antaranya ialah aktif tidaknya Nomor Induk Kependudukan (NIK) nya.
Sebab, data penyaluran bansos, termasuk PBI JKN saat ini telah memanfaatkan sistem Data Terpadu Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN) yang menggantikan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS), Acuan DTSEN ialah NIK.
"Ini tentunya sepakat dengan dukcapil NIK tidak aktif orang itu tidak ada di DTSEN ini merupakan proses melakukan rekon dan perapihan agar sinkron dan koheren," ucap Amalia.
Sementara itu, Menteri Sosial Saifullah Yusuf (Gus Ipul) mengatakan, penonaktifan lebih dari 8 juta data penerima PBI berdasarkan verifikasi lapangan atau ground check yang dilakukan Kementerian Sosial bersama BPS.
"Apa pertimbangannya? Pertama hasil ground check kami. Kami turun ke lapangan dengan SDM yang kami miliki bersama BPS kepada penerima-penerima manfaat ini. Maka kemudian, ada 2 juta lebih ternyata dia sebenarnya tidak berhak menerima PBI," ucap Gus Ipul.
Selain itu, pemeringkatan melalui sistem desil DTSEN juga menjadi dasar penilaian. "Kita lihat satu persatu desil 1 sampai 4. Tapi desil 5 dan seterusnya kita anggap tidak layak mendapatkan PBI. Maka kemudian jumlahnya ketemu 7 juta lebih, tambahan 800 ribu jadi 8 juta lebih sekarang (tidak layak PBI)," ujarnya.
(arj/mij)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article INDEF: RI Sangat Gampang Terguncang
