
Koalisi Retak, Netanyahu Ditinggal Sekutunya di Parlemen

Jakarta, CNBC Indonesia - Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menghadapi guncangan politik besar setelah partai ultra-Ortodoks United Torah Judaism (UTJ) menyatakan keluar dari koalisi pemerintahan.
Melansir Associated Press (AP News) pada Rabu (16/7/2025), langkah UTJ ini menjadi pukulan telak yang bisa membuka jalan menuju keruntuhan pemerintahan Netanyahu dan berpotensi mempersulit proses gencatan senjata di Gaza.
UTJ menarik dukungan akibat ketidaksepakatan soal rancangan undang-undang yang akan mengakhiri pengecualian wajib militer bagi siswa sekolah agama. Padahal, wajib militer merupakan kewajiban hampir semua warga Yahudi Israel.
"Ancaman terhadap pemerintah tampak lebih serius dari sebelumnya," ujar Shuki Friedman, Wakil Presiden Jewish People Policy Institute di Yerusalem.
Dengan keluarnya UTJ, koalisi Netanyahu kini hanya menguasai 61 dari 120 kursi di Knesset. Ketimpangan ini membuat Netanyahu semakin tergantung pada partai-partai sayap kanan yang menolak kompromi, khususnya terkait perdamaian dengan Hamas.
Jika partai ultra-Ortodoks lain juga hengkang, Netanyahu bisa kehilangan mayoritas dan menghadapi pemerintahan minoritas yang nyaris tidak bisa bergerak.
Sementara itu, terkait pemilu dini, secara prosedural, oposisi belum bisa mengajukan mosi pembubaran parlemen hingga akhir tahun. Namun, jika koalisi terus melemah dan tekanan publik meningkat, Netanyahu bisa memutuskan mempercepat pemilu dari jadwal semula Oktober 2026.
Di tengah tekanan politik, kasus hukum, dan ketegangan militer, posisi Netanyahu kini semakin terjepit. Jika ia gagal menjaga keseimbangan antara tuntutan koalisi dan tekanan internasional, jalan menuju pemilu dini bisa menjadi tak terhindarkan.
Guncangan di Tengah Tekanan Gencatan Senjata
Perpecahan ini terjadi di tengah negosiasi gencatan senjata dengan Hamas. AS di bawah pemerintahan Trump terus menekan Israel untuk mengakhiri perang yang telah berlangsung lebih dari satu setengah tahun. Namun, sekutu garis keras Netanyahu menuntut perang dilanjutkan hingga Hamas dihancurkan.
Gayil Talshir, analis politik Universitas Ibrani Yerusalem, menyebut Netanyahu kemungkinan akan menggunakan masa gencatan senjata sementara, yang diajukan selama 60 hari, untuk mengalihkan fokus publik dan memperbaiki citra politiknya.
"Netanyahu mungkin akan memanfaatkan waktu ini untuk mendorong kesepakatan normalisasi dengan negara-negara Arab, sebagai amunisi elektoral," jelasnya.
(tfa/tfa)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Video: PM Israel & Menlu AS 'Kopdar' Bahas Pengambilalihan Gaza
