
Lampaui Ekspektasi, Ekonomi China Tumbuh 5,2% pada Kuartal II-2025

Jakarta, CNBC Indonesia - Pertumbuhan ekonomi China pada kuartal II-2025 mencapai 5,2% secara tahunan, melampaui ekspektasi pasar dan target resmi pemerintah. Hasil ini memberikan ruang bernapas bagi para pembuat kebijakan di Beijing untuk menahan peluncuran stimulus besar-besaran dalam waktu dekat.
Meski begitu, sejumlah indikator kunci menunjukkan kerentanan struktural yang bisa menekan momentum pemulihan di paruh kedua tahun ini.
Data yang dirilis Biro Statistik Nasional China (NBS) pada Selasa (15/7/2025) menunjukkan bahwa produk domestik bruto (PDB) yang tumbuh 5,2% itu mengungguli proyeksi ekonom dalam jajak pendapat Reuters yang memperkirakan 5,1%. Capaian ini juga menjadikan pertumbuhan ekonomi China sejauh ini secara agregat melampaui target tahunan resmi pemerintah sebesar 5%.
Namun, capaian tersebut justru lebih lambat dibandingkan pertumbuhan kuartal pertama yang tercatat sebesar 5,4%, menandakan bahwa momentum pemulihan ekonomi mulai kehilangan tenaga.
"Meski pertumbuhan kemungkinan melambat pada paruh kedua tahun ini, target pemerintah sebesar 5% masih berada dalam jangkauan," ujar Tianchen Xu, ekonom senior di Economist Intelligence Unit, dikutip dari CNBC International.
Ia memprediksi Politbiro Partai Komunis China tidak akan mengumumkan stimulus besar baru dalam pertemuan akhir Juli mendatang. "Stimulus tambahan baru kemungkinan akan dipertimbangkan pada September, jika momentum melemah tajam."
Konsumsi Masih Loyo, Investasi Infrastruktur Menurun
Di sektor konsumsi, laju pertumbuhan penjualan ritel pada Juni melambat menjadi 4,8% dibandingkan tahun sebelumnya, turun dari 6,4% pada Mei dan di bawah ekspektasi ekonom yang memperkirakan 5,4%. Dalam komponen tersebut, penjualan jasa katering hanya naik 0,9%, performa terburuk sejak Desember 2022 saat negara masih terdampak pandemi Covid-19.
Output industri menjadi salah satu titik cerah, dengan pertumbuhan sebesar 6,8% secara tahunan pada Juni, melampaui estimasi median 5,7%. Namun, investasi aset tetap hanya tumbuh 2,8% dalam enam bulan pertama tahun ini, di bawah estimasi Reuters sebesar 3,6%.
Krisis sektor properti terus berlanjut, dengan investasi real estat terkontraksi 11,2% pada semester I-2025, memburuk dibanding penurunan 10,7% dalam lima bulan pertama. Investasi di sektor infrastruktur dan manufaktur juga menunjukkan perlambatan.
Tingkat pengangguran perkotaan tercatat tetap di 5% pada Juni, stabil dari bulan sebelumnya namun masih tinggi dibanding rata-rata pra-pandemi.
Perang Dagang AS-China
Ketidakpastian eksternal juga membayangi. Pada April, Presiden AS Donald Trump menaikkan tarif impor terhadap barang-barang China hingga mencapai 145%, memicu respons kebijakan dari Beijing.
China lantas meluncurkan berbagai stimulus, termasuk subsidi bagi eksportir, insentif bagi perusahaan yang merekrut lulusan baru, serta perluasan program tukar tambah barang konsumen.
"Harus diakui bahwa masih banyak faktor eksternal yang tidak stabil dan tidak pasti, dan permintaan domestik masih kurang kuat," kata Biro Statistik Nasional
Namun, ketegangan mereda pada Mei setelah kedua negara mencapai gencatan senjata tarif dan menyepakati kerangka kerja baru dalam pertemuan di London bulan Juni. Dalam kerangka itu, China berjanji mempercepat persetujuan ekspor logam tanah jarang, sementara AS melonggarkan pembatasan teknologi tinggi dan visa pelajar China.
China menghadapi tenggat 12 Agustus untuk merampungkan kesepakatan permanen dengan Washington.
Ekspor Bangkit
Meskipun tarif AS melonjak, ekspor China tetap tangguh. Data bea cukai menunjukkan bahwa pengiriman barang ke AS anjlok 10,9% sepanjang semester I 2025, tetapi ekspor ke Asia Tenggara melonjak 13% dan ke Uni Eropa naik 6,6%. Alhasil, porsi ekspor China ke AS turun menjadi 11,9% dari 14,1% pada periode yang sama tahun lalu.
Program stimulus juga telah membantu mendongkrak aktivitas manufaktur, terlihat dari survei resmi dan swasta yang menunjukkan perbaikan dalam indeks manufaktur.
Namun, beberapa ekonom menilai perlambatan masih mengintai. Huang Yiping, penasihat bank sentral (PBOC), dalam laporan bersama dua ekonom lainnya, menyebut bahwa China perlu menggelontorkan hingga 1,5 triliun yuan (setara US$206 miliar) stimulus fiskal tambahan untuk mendorong konsumsi rumah tangga dan mengimbangi dampak tarif AS. Ia juga menyarankan penurunan suku bunga lanjutan.
(luc/luc)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Kabar Buruk, Xi Jinping Beberkan Situasi Ekonomi China
