Petaka Tarif Trump, Petambak-Nelayan RI Satu per Satu Terancam Hilang

Jakarta, CNBC Indonesia - Keputusan Presiden Donald Trump yang akan memberlakukan tarif tambahan atas impor semua barang dari Indonesia ke Amerika Serikat (AS) sebesar 32% mengancam keberlangsungan usaha di Tanah Air. Termasuk, nasib usaha nelayan dan petambak udang-perikanan di dalam negeri.
Seperti diketahui, Trump mengumumkan tambahan tarif sebesar 32% atas semua produk Indonesia, di luar tarif sektoral yang diterapkan. Tarif tambahan ini akan berlaku mulai 1 Agustus 2025 nanti.
Padahal, selama ini AS masih jadi negara tujuan utama ekspor perikanan Indonesia. Meski, Indonesia hanya berada di posisi kelima negara pemasok perikanan ke AS. Di bawah Kanada, Chili, India, dan China.
Dua kelompok komoditas perikanan RI yang diekspor ke AS adalah krustasea dan moluska olahan, serta krustasea beku. Kedua komoditas ini menyumbang US$1,43 miliar dari total nilai ekspor perikanan RI ke AS tahun 2024 yang tercatat mencapai US41,92 miliar.
Karena itu, kata Ketua Bidang Perikanan dan Peternakan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hendra Sugandhi, dibutuhkan resiliensi adaptif yang harus dilakukan seluruh pemangku kepentingan sektor perikanan demi memperkuat daya saing ekspor hasil perikanan.
"Tarif Trump 2.0 dan disrupsi internasional lainnya (termasuk perang antar negara) tidak dapat kita hindari. Guncangan eksternal lain mungkin saja muncul menyusul (uncontrollable)," katanya kepada CNBC Indonesia, dikutip Kamis (10/7/2025).
Hendra mengatakan, Indonesia dapat mengambil langkah strategis dari sisi internal.
"Dari sisi internal dapat secepatnya optimalisasi deregulasi kemudahan perizinan yang mana termasuk faktor yang dapat diatasi langsung (controllable), tidak bergantung dunia luar. Perbaikan internal dapat dilakukan jauh lebih cepat oleh internal kita sendiri," ujarnya.
"Di samping itu kita tentu harus memperkuat strategi diversifikasi pasar di luar AS, dengan memperkuat kerja sama perdagangan (free trade agreement/ FTA), meminimalisasi tarif barrier maupun non tarif barrier," ucap Hendra.
Dia mengingatkan, industri perikanan, termasuk udang, di Indonesia tidak dapat disamakan dengan industri lain. Sehingga, imbuh dia, diversifikasi produk dengan hilirisasi tidak dapat dijadikan sebagai solusi satu-satunya. Karena, bukan solusi yang strategis untuk sektor perikanan dan udang RI.
"Ikan hidup atau udang segar adalah yang paling mahal. Kedua sashimi, ketiga fresh, keempat dibekukan. Jadi jangan seolah-olah dengan hanya hilirisasi itu jadi kunci. Karena udang dengan kualitas terbaik itu adalah yang head on, itu yang paling mahal. Karena indikatornya itu ada di kepala," jelasnya.
"Kalau di perikanan ini memang uniklah. Kebalikan industri yang lain. Semakin dia lama diproses semakin turun nilainya. Bisa dicek harga udang head on berapa yang headless berapa. Jadi kalau dibilang perkuat hilirisasinya, bukan itu solusinya menurut saya. Mungkin pemikiran saya ini bertolak belakang ya dengan yang mayoritas," tambah Hendra.
Namun, tegasnya, bukan berarti mengembangkan hilirisasi perikanan termasuk udang tidak penting. Misalnya, hilirisasi udang, yang kini sudah masuk ke industri pengolahan kulit udang menjadi tepung. Hanya saja, sambungnya, tidak boleh terpaku hanya pada hilriisasi saja.
"Kita lihat contohnya Ekuador. Kenapa bisa ekspornya ke AS langsung lompat berlipat-lipat? Kita ikuti saja success storynya," ujar Hendra.
Hendra mengatakan, kebijakan Trump yang akan menambah tarif atas produk RI sebesar 32% akan membuat ekspor perikanan Indonesia ke AS tertekan. Apalagi, saat ini, Indonesia belum dapat memanfaatkan akses pasar yang lebih luas ke Uni Eropa (UE) karena rencana kerja sama ekonomi komprehensif dengan kawasan itu (CEPA Indonesia-UE) belum juga ditekan.
Belum lagi, hasil audit DG Sante UE tahun 2017 menilai, sistem monitoring keamanan pangan hasil perikanan Indonesia tidak memadai, sehingga dikenakan sanksi moratorium approval (tidak ada izin baru) selama tidak dapat dipenuhinya corrective action yang diminta oleh DG Sante.
"Sekitar 64% pasar kita itu, terutama udang, bergantung ke pasar AS. Jadi kalau misalnya ini tetap diterapkan 32% misalnya nanti Agustus, ini akan membebani. Importir pasti akan membebani dengan menurunkan harga di sini. Nah, otomatis yang kena kan petambak. Ujungnya di petambak," kata Hendra.
Akibatnya, lanjut dia, petambak atau nelayan akan mengalami penurunan pendapatan. Yang pada ujungnya akan berdampak pada semakin tergerusnya daya beli petambak/ nelayan di dalam negeri.
"Otomatis juga akan berdampak pada minat investasi. Investasi petambak juga akan menurunlah. (Duit petambak/ nelayan menipis sehingga bisa menahan rencana peningkatan pemeliharaan dan pemenuhan standar-standar internasional?) Iya. Jadi memang dampaknya cukup beratlah," tukas Hendra.
"Petambak/ nelayan pasti akan berkurang. Produksi perikanan kita juga akan terancam. Iya (bukan tidak mungkin akan semakin mengecil)," sebutnya.
Karena itu, ujarnya, selain upaya-upaya negosiasi yang berjalan, serta rencana diversifikasi pasar dan hilirisasi produk, langkah strategis lain yang perlu dilakukan secara internal adalah memangkas beban-beban biaya yang menjadi biaya ekonomi tinggi bagi petambak/ nelayan.
"Pokoknya semua biaya tinggi itu harus dihapus supaya daya saing kita lebih kuat. Intinya, kalau petambak/ nelayan kuat, usahanya tumbuh, pasti hilirnya akan jalan. Makanya kita harus melihat dan membandingkan kunci kesuksesan Ekuador," tegas Hendra.
(dce/dce)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Korban Baru Kebijakan 'Gila' Trump: Nelayan