MARKET DATA

Dolar Diramal Rp17.000/US$ Tahun Depan, Ini Bahayanya Bagi RI

Robertus Andrianto,  CNBC Indonesia
26 November 2025 07:55
Petugas menjunjukkan mata uang Dolar Amerika Serikat (AS) di VIP Money Changer, Jakarta, Kamis (25/9/2025). (CNBC Indonesia/Faisal Rahman)
Foto: Petugas menjunjukkan mata uang Dolar Amerika Serikat (AS) di VIP Money Changer, Jakarta, Kamis (25/9/2025). (CNBC Indonesia/Faisal Rahman)

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah pada 2026 diperkirakan oleh Institute for Development of Economics & Finance (Indef) akan mencapai Rp17.000 per US$ atau lebih lemah dari posisi tahun ini yang berada di rentang Rp16.000-Rp16.700 per US$.

Indef dalam laporan Menata Ulang Arah Ekonomi Berkeadilan (2025) mengatakan proyeksi tersebut mencerminkan adanya masalah struktural dalam perekonomian Indonesia serta tingginya kebutuhan dolar untuk perdagangan.

"Proyeksi rupiah Rp17.000 per US$ tidak hanya mencerminkan tekanan jangka pendek, tetapi juga menunjukkan problem struktural dalam perekonomian Indonesia, yakni ketergantungan pada impor bahan baku, lemahnya diversifikasi ekspor, tingginya kebutuhan pembiayaan dolar, dan belum efektifnya upaya memperkuat industri dalam negeri."

Indef menilai jika tidak diimbangi dengan kebijakan industri, fiskal, dan moneter yang terkoordinasi, tekanan pada Rupiah pada 2026 dapat menjadi hambatan signifikan bagi stabilitas makro dan transformasi ekonomi Indonesia dalam jangka panjang.

Apa yang menyebabkan tekanan rupiah pada 2026?

Ada dua faktor penyebab semakin melemahnya rupiah tahun depan, yakni dari eksternal dan internal.

"Dari sisi eksternal, pelemahan rupiah terutama dipengaruhi oleh ketidakpastian dari dinamika ekonomi global. Ketidakpastian geopolitik global-seperti ketegangan di Timur Tengah, perlambatan ekonomi China, dan fragmentasi perdagangan-meningkatkan aversi risiko investor dan menekan mata uang emerging markets, termasuk rupiah," tulis Indef dalam laporannya.

Di sisi lain, tekanan domestik berasal dari defisit neraca perdagangan non komoditas (barang modal), ketergantungan impor bahan baku manufaktur, pangan strategis dan kebutuhan pembiayaan utang pemerintah turut menambah tekanan terhadap rupiah.

"Tingginya kebutuhan impor energi akibat pola subsidi energi yang belum efisien juga menciptakan structural demand for US$, yang semakin melemahkan posisi Rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat."

Apa jadinya kalau dolar Rp17.000?

Positifnya, menurut Indef, saat dolar mencapai Rp17.000 per US$ dapat meningkatkan daya saing harga ekspor terutama bagi sektor manufaktur dan UMKM yang berorientasi ekspor.

Meskipun demikian, Indef menilai implikasi positif tersebut terbatas karena struktur ekspor Indonesia masih didominasi komoditas yang harganya ditentukan pasar global, bukan harga domestik.

Di sisi lain, efek negatif yang dirasakan akan lebih luas baik yang dirasakan oleh masyarakat, industri, dan pemerintah.

Pertama, imported inflation meningkat karena biaya impor bahan baku dan barang modal naik, sehingga mendorong kenaikan harga barang konsumsi.

Kemudian, Indef melihat akan ada tekanan terhadap industri manufaktur khususnya yang bergantung pada impor bahan baku akan menghadapi kenaikan biaya produksi. Akibatnya adalah tekanan margin keuntungan, dan berpotensi melemahkan proses industrialisasi.

Dampak negatif ketiga, melemahnya rupiah juga meningkatkan beban pembayaran utang pemerintah dan korporasi yang berdenominasi dolar, sehingga mempersempit ruang fiskal dan memperbesar risiko kredit.

"Selain itu, jika Pemerintah dan Bank Sentral tidak dapat menjaga stabilitas nilai tukar, maka dalam jangka panjang dapat memicu pengetatan kebijakan moneter melalui kenaikan suku bunga BI, yang pada gilirannya menekan investasi dan pertumbuhan ekonomi."

(ras/haa)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Begini Proyeksi Bos BRI (BBRI) Soal Ekonomi RI di Semester II


Most Popular