Risiko Ngeri Investasi Pusat Data Demi AI, Ini Kata Bos ChatGPT

Zefanya Aprilia, CNBC Indonesia
07 October 2025 07:30
OpenAI. (REUTERS/Dado Ruvic/Illustration/File Photo)
Foto: OpenAI. (REUTERS/Dado Ruvic/Illustration/File Photo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Konsultan McKinsey baru-baru ini memperkirakan belanja modal global untuk chip, data center, dan energi yang menopang industro kecerdasan buatan (AI) akan mencapai US$ 5,2 triliun dalam lima tahun ke depan. Angka itu bahkan bisa naik lagi seiring derasnya pengumuman proyek infrastruktur AI di Amerika Serikat.

Namun, di balik euforia tersebut, muncul pertanyaan apakah ledakan investasi ini akan bernasib sama seperti gelembung telekomunikasi 1990-an.

Mengutip The Economist, raksasa teknologi seperti OpenAI, Nvidia, dan Oracle mengumumkan kesepakatan jumbo untuk membangun pusat data berdaya komputasi tinggi. Meski begitu, permintaan yang benar-benar menghasilkan pendapatan dan keuntungan tinggi belum sejalan dengan ekspektasi.

McKinsey mencatat hanya 15% pilot project AI di perusahaan yang bisa disebut berhasil. Artinya, ada risiko ketidakseimbangan suplai dan permintaan yang bisa berlangsung bertahun-tahun.

Faktor lain yang membuat investasi ini penuh ketidakpastian adalah lokasi, pendanaan, dan kualitas kredit para pemainnya. Pusat data AI kini banyak dibangun di wilayah terpencil seperti Texas, Dakota Utara, atau New Mexico, demi mengejar pasokan listrik terbarukan dan lahan luas. Namun, jauh dari hub internet besar bisa menambah risiko finansial.

Dari sisi pembiayaan, jika dulu real estate investment trust (REITs) mendominasi, kini posisinya digantikan oleh dana kredit swasta, sovereign wealth fund, hingga bank. Risiko pun bergeser ke sistem perbankan jika terjadi gagal bayar. Sementara itu, kualitas kredit perusahaan yang kini ikut terjun, seperti laboratorium AI dan penyedia GPU sewaan, jauh lebih berisiko dibanding raksasa cloud mapan seperti Amazon, Microsoft, atau Google.

Sebagian pengamat menilai fenomena ini mirip dengan euforia telekomunikasi akhir 1990-an. Kala itu, kabel optik dibangun tanpa kepastian pelanggan. Bedanya, kini pembangunan pusat data umumnya berbasis kontrak dengan mitra.

Namun jika banyak pemain baru gagal bertahan, aset bisa mangkrak, perbankan tertekan, dan ekosistem AI terguncang.

Tokoh AI seperti Sam Altman yang merupakan CEO dari OpenAI, perusahaan di balik ChatGPT, berargumen bahwa bahaya underbuilding sama besarnya dengan risiko overbuilding.

Kapasitas pusat data mungkin tetap bisa terserap untuk menjalankan model bahasa besar, meskipun tidak semua dipakai untuk pelatihan AI.

Pada akhirnya, The Economist menyebut pertanyaan terbesar adalah kapan permintaan nyata untuk aplikasi generative AI benar-benar menyusul besarnya ambisi investasi.


(fsd/fsd)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Calon Investor Wajib Baca, Ini Perbedaan Saham dan Obligasi

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular