
BRI (BBRI) Jadi Primadona Asing, Dikoleksi Rp 1,08 T dalam 4 Hari

Jakarta, CNBC Indonesia — Saham PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. (BBRI) menjadi incaran investor asing. Dalam periode perdagangan 7-12 Agustus 2025, BBRI menjadi saham dengan net foreign buy terbesar, yakni Rp 1,08 triliun.
Berdasarkan data Bursa Efek Indonesia (BEI), dalam empat hari perdagangan tersebut, saham BBRI membukukan net buy asing terbesar pada perdagangan kemarin, Selasa (12/8/2025), senilai Rp 718,2 miliar.
Aksi asing tersebut mendorong Kenaikan harga saham BBRI hingga menembus level psikologis Rp 4.050 per saham. Pada periode tersebut saham BBRI telah menguat 8,87%.
Adapun BBRI melesat kencang pada perdagangan kemarin. Saham bank yang fokus pada segmen UMKM ini naik 6,3%.
Total nilai transaksi di saham BBRI mencapai Rp 1,61 triliun yang melibatkan 404,7 juta saham. Hal ini menjadikan saham BBRI penggerak utama indeks dengan kontribusi 39,55 indeks poin.
Adapun BBRI membukukan laba bersih periode berjalan sebesar Rp 26,53 triliun sepanjang semester I-2025.
Pada fungsi intermediasi BRI berhasil mencatatkan kinerja positif dalam penyaluran kredit korporasi. Secara konsolidasi, realisasi kredit korporasi BRI mencapai Rp278,78 triliun, tumbuh 15,64% yoy. Pada saat yang sama, rasio kredit bermasalah atau non-performing loan (NPL) segmen korporasi tetap terjaga di level yang sehat yakni di level 1,61%.
Direktur Corporate Banking BRI, Riko Tasmaya menegaskan, BRI akan tetap mengedepankan prinsip kehati-hatian dalam menyalurkan pembiayaan, dengan fokus pada korporasi yang memiliki keterkaitan langsung dengan rantai pasok (value chain) segmen usaha mikro.
Pada penghimpunan dana, BRI berhasil mencatatkan total dana pihak ketiga sebesar Rp1.482,12 triliun pada semester I-2025, tumbuh 6,65% yoy. Dengan komposisi dana murah atau current account savings account (CASA) sebesar 65,51%.
Sementara itu, investor asing diperkirakan akan semakin getol mengoleksi saham-saham Tanah Air. Survei bulanan Bank of America (BofA) yang dilansir dari The Financial Times menunjukkan sebanyak 37% manajer investasi global kini memiliki porsi lebih besar di saham pasar negara berkembang, level tertinggi sejak Februari 2023. Peningkatan ini didorong oleh pandangan positif terhadap prospek ekonomi Tiongkok dan pelemahan dolar Amerika Serikat (AS).
Kinerja saham negara berkembang tahun ini juga melampaui pasar negara maju, dengan indeks MSCI mencatatkan return lebih dari 16% dalam dolar AS. Angka ini mengungguli indeks MSCI negara maju yang naik sekitar 11% dan S&P 500 Wall Street yang menguat 8,6%.
Meski reli sudah cukup signifikan, investor meyakini masih ada ruang kenaikan bagi saham negara berkembang karena valuasinya relatif murah setelah periode panjang underperformance. JPMorgan bahkan menaikkan rekomendasi saham emerging market menjadi "overweight" karena dinilai sangat menarik secara valuasi.
Sebanyak 49% responden survei BofA menilai saham negara berkembang sedang undervalued, tertinggi dalam lebih dari setahun terakhir. Sementara itu, 91% manajer investasi menganggap saham AS terlalu mahal pasca reli cepat sejak April dan serangkaian rekor tertinggi di musim panas ini.
(mkh/mkh)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Ada Saham yang Terciduk Diborong Asing
