
Dear Mr Trump, Perang Dagang Tak Membuat Wall Street Takut Lagi

Jakarta, CNBC Indonesia - Perang Dagang melalui tarif impor Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump akan memasuki deadline terbaru, untuk kesekian kali, 1 Agustus 2025. Namun Wall Street sepertinya tidak takut lagi dengan "ancaman" Trump tersebut.
Hal ini berbeda dengan pengumuman sebelumnya pada 2 April. Kala itu, pasar khawatir pernyataan yang dielu-elukan Trump sebagai "hari pembebasan" memicu inflasi dan menyebabkan perlambatan atau resesi di AS.
Dengan perkembangan terbaru, tarif yang akan Trump berikan ke negara-negara pengekspor barang ke Paman Sam sepertinya akan berkisar di 15% hingga 20%. Analis juga melihat pertumbuhan global akan lebih kuat, dampak inflasi ke AS tak semenakutkan sebelumnya serta ada "pelonggaran kondisi keuangan" yang secara umum sudah dilakukan.
Mengutip CNBC International, JPMorgan Chase misalnya, telah menurunkan risiko resesi dari level 60% pada hari pembebasan menjadi 40%. Meski masih lebih tinggi dari biasanya tetapi angka itu tidak terlalu pesimistis.
"Tarif adalah kenaikan pajak atas pembelian barang-barang asing oleh AS, tetapi hambatan pajak ini kemungkinan tidak akan cukup besar untuk menggagalkan ekspansi AS," kata Kepala Ekonom JPMorgan, Bruce Kasman, dalam sebuah catatan, dikutip Selasa (29/7/2025).
Seperti bank-bank lain, bank tersebut juga memperkirakan tarif Trump akan mengakibatkan putaran pembalasan yang merugikan secara global. Namun peningkatan "pembatasan perdagangan global" itu, dikatakan telah berubah menjadi langkah sederhana menuju pembukaan pasar bagi AS.
Wall Street
Kesepakatan tarif antara AS dan Uni Eropa (UE) Senin, merupakan "klimaks" dari turunnya kekhawatiran itu. Komentar di Wall Street menggemakan keyakinan bahwa risiko resesi telah mereda, meskipun tarif masih berpotensi kuat untuk memberikan dampak yang menghambat pertumbuhan.
"Kami masih yakin bahwa hasil yang paling mungkin adalah pertumbuhan yang lambat dan inflasi yang kuat: Bukan resesi," tulis ahli strategi Morgan Stanley, Michael Zezas.
"Tetapi latar belakang di mana dampak buruk perdagangan dan kontrol imigrasi terhadap pertumbuhan lebih besar daripada dorongan dari deregulasi dan kemurahan hati fiskal," ujarnya.
Zezas mengatakan memang masih banyak masalah lain yang perlu diselesaikan sebelum batas waktu 1 Agustus yang diberlakukan Trump. Itu masih dapat mengakibatkan pungutan signifikan yang memengaruhi mitra dagang utama AS, termasuk Jepang dan lainnya.
"Perselisihan perdagangan (memang) dapat dengan mudah mengarah ke resesi ringan," tambah Zezas.
"(Namun) singkatnya, kami melihat hasil ekonomi AS condong ke arah perlambatan, tapi ada lebih banyak kejelasan tentang situasi fiskal dan defisit yang kini membebani, (jadi) risiko resesi substansial mulai mereda," jelasnya.
The Fed
Sebenarnya, hal lain yang diperhatikan pasar adalah bank sentral AS, Federal Reserve (The Fed/Fed). Kesepakatan AS-Eropa akan memberi The Fed lebih banyak hal untuk dicermati minggu ini.
The Fed sendiri akan mengumumkan keputusan suku bunga terbaru Rabu waktu AS. Sejak Trump menjabat, The Fed telah mempertahankan suku bunga acuan jangka pendeknya, sebagian besar karena para pembuat kebijakan berhati-hati terhadap dampak tarif terhadap inflasi.
Analis meyakini The Fed akan menyetujui penurunan suku bunga pada bulan September. Fakta itu tampaknya akan terjadi jika ekonomi melemah sementara inflasi terkendali.
"Tarif efektif secara signifikan lebih tinggi daripada di awal tahun," tulis ekonom Citigroup Andrew Hollenhorst.
"Namun dengan tarif mitra dagang utama yang stabil mendekati 15% dibandingkan tarif yang jauh lebih tinggi yang diusulkan pada 2 April, pasar dan pejabat Fed akan semakin yakin bahwa hambatan terhadap pertumbuhan dan risiko kenaikan inflasi akan moderat," ujarnya lagi.
(sef/sef)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Wall Street Babak Belur! Investor Digentayangi Hantu Resesi Trump
