Kasus Gagal Ginjal Meledak di Dunia, Ini Penyebabnya
Jakarta, CNBC Indonesia — Dunia tengah menghadapi krisis kesehatan besar yang selama ini sering luput dari perhatian publik. Kasus gagal ginjal atau penyakit ginjal kronis (chronic kidney disease/CKD) melonjak drastis dalam tiga dekade terakhir.
Riset terbaru dari Institute for Health Metrics and Evaluation (IHME) berbasis data Global Burden of Disease (GBD) 2023 mengungkap bahwa jumlah orang dewasa yang hidup dengan CKD mencapai 788 juta orang pada 2023. Penyakit ini kini menempati peringkat kesembilan penyebab kematian tertinggi di dunia, menewaskan 1,5 juta orang pada tahun yang sama.
Lebih dari separuh penderita bahkan tidak menyadari bahwa ginjal mereka sedang mengalami kerusakan. IHME menemukan mayoritas kasus berada pada stadium awal, yaitu stadium 1-3, yang sering kali tidak memunculkan gejala. Kondisi ini membuat CKD berkembang diam-diam hingga akhirnya terdeteksi pada tahap lanjut, ketika fungsi ginjal sudah menurun signifikan.
Peningkatan kasus CKD secara global tidak hanya dipicu oleh pertumbuhan populasi dan penuaan. Penyebab utamanya ternyata semakin dipengaruhi gaya hidup modern. IHME menyebut gula darah puasa tinggi, kegemukan, dan tekanan darah tinggi sebagai tiga faktor risiko terbesar yang memicu kerusakan ginjal di hampir semua kelompok usia.
Diabetes dan hipertensi tetap menjadi kontributor terbesar, namun studi ini menegaskan bahwa CKD bersifat multifaktorial dan berkaitan dengan pola makan, lingkungan, sosial ekonomi, serta faktor pekerjaan.
Dalam beberapa wilayah seperti Amerika Tengah, tren gagal ginjal bahkan menunjukkan pola yang tidak biasa. IHME menyoroti naiknya kasus CKD of Unknown Etiology (CKDu), yaitu gagal ginjal misterius yang bukan disebabkan diabetes atau hipertensi.
Fenomena ini banyak menyerang pekerja perkebunan yang bekerja di bawah paparan panas ekstrem dan mengalami dehidrasi kronis, sehingga memunculkan dugaan kuat bahwa perubahan iklim dan faktor lingkungan turut memperburuk risiko penyakit ginjal di negara berkembang.
Krisis ini juga diperparah oleh ketimpangan akses layanan kesehatan. Meskipun beban CKD tinggi di banyak negara berpenghasilan rendah dan menengah, akses terhadap dialisis dan transplantasi ginjal justru sangat terbatas.
Sebaliknya, negara-negara kaya memiliki tingkat tertinggi dalam hal pasien yang menerima terapi pengganti ginjal, meskipun prevalensi CKD di wilayah tersebut lebih rendah dari rata-rata global. Kondisi ini membuat angka kematian akibat CKD di negara miskin jauh lebih tinggi karena banyak pasien tidak pernah mendapatkan pengobatan yang semestinya.
IHME juga menegaskan bahwa kerusakan ginjal berdampak jauh lebih luas dari yang diperkirakan. Pada 2023, disfungsi ginjal berkontribusi terhadap 11,5% kematian akibat penyakit jantung secara global.
Artinya, CKD bukan hanya penyakit yang merusak ginjal, melainkan faktor penting yang memicu kematian kardiovaskular. Temuan ini memperkuat langkah Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang menetapkan CKD sebagai penyakit tidak menular prioritas global, setara dengan kanker, diabetes, dan penyakit jantung.
Peneliti IHME menekankan bahwa deteksi dini harus menjadi fokus utama negara-negara di seluruh dunia. Skrining albuminuria dan pemantauan faktor risiko pada populasi rentan masih minim dilakukan, bahkan di negara berpendapatan tinggi.
Mereka berharap temuan ini dapat mendorong pemerintah untuk memasukkan CKD dalam kebijakan kesehatan publik secara lebih serius serta memperluas akses terhadap pengobatan efektif yang dapat memperlambat kerusakan ginjal dan mencegah komplikasi jantung.
(mkh/mkh)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Banyak Ditakuti Orang, Ini Faktor Risiko Penyebab Gagal Ginjal Kronis