
Mengenal "Zona Kematian" Everest, Pendaki Paling Banyak Tewas di Sini

Jakarta, CNBC Indonesia - Gunung Everest. Namanya saja sudah memancarkan aura keagungan dan tantangan. Puncak tertinggi di dunia yang membentang di perbatasan Nepal dan Tibet, China, selalu menjadi magnet bagi para pendaki dan petualang dari seluruh penjuru Bumi. Pesonanya tak terbantahkan dengan pemandangan pegunungan yang sangat indah.
Di balik keindahannya, Everest juga dijuluki sebagai "kuburan terbuka tertinggi di dunia." Hingga Desember 2024, tercatat lebih dari 335 orang meninggal saat mendaki gunung ini, baik saat mendaki ke atas maupun saat turun kembali.
Di Gunung Everest ada wilayah yang dijuluki sebagai "death zone" alias "zona kematian." Di zona inilah para pendaki biasanya berjuang keras untuk dapat bertahan hidup, mereka yang gagal berakhir meregang nyawa dan mayatnya terbaring di Everest.
Di mana letak zona kematian Everest?
Jika pendaki ingin mencapai puncak Gunung Everest, puncak tertinggi di dunia dengan ketinggian 8.848 meter di atas permukaan laut, mereka harus melewati area yang dikenal sebagai "zona kematian".
Ini adalah area dengan ketinggian di atas sekitar 8.000 meter, di mana oksigen yang tersedia sangat sedikit sehingga tubuh mulai mati, menit demi menit dan sel demi sel.
Di zona kematian, otak dan paru-paru pendaki kekurangan oksigen, sehingga risiko serangan jantung dan stroke meningkat.
"Tubuh Anda sedang rusak dan pada dasarnya sekarat," ujar Shaunna Burke, seorang pendaki yang mencapai puncak Everest pada tahun 2005, seperti dikutip dari Business Insider. "Rasanya seperti berpacu dengan waktu."
Salah satu faktor risiko terbesar di ketinggian 8.000 meter adalah hipoksia, yang terjadi ketika tidak ada cukup oksigen mengaliri organ-organ vital seperti otak.
Jika tidak mendapatkan cukup oksigen, otak dapat membengkak, sehingga menyebabkan kondisi yang disebut edema serebral dataran tinggi (HACE).
Pembengkakan ini dapat memicu mual, sakit kepala, dan kesulitan berpikir serta bernalar.
Otak yang kekurangan oksigen dapat menyebabkan pendaki mengalami delirium yang oleh beberapa ahli dianggap sebagai bentuk psikosis ketinggian. Dalam kondisi ini, pendaki tidak mampu berpikir normal, dan mereka bisa melakukan hal-hal aneh seperti melepas pakaian atau berbicara dengan teman khayalan.
(hsy/hsy)
[Gambas:Video CNBC]
