Fenomena Kumpul Kebo Kian Marak di RI, Wilayah Ini Paling Banyak

Tim Redaksi, CNBC Indonesia
03 July 2025 07:00
Ilustrasi Pasangan Kekasih (Văn Thắng/pexels)
Foto: Ilustrasi Pasangan (Văn Thắng/pexels)

Jakarta, CNBC Indonesia - Tinggal bersama tanpa menikah atau 'kumpul kebo', makin marak terjadi di Indonesia. Sejumlah daerah di Indonesia timur tercatat sebagai wilayah dengan angka kohabitasi tertinggi, berdasarkan temuan riset terbaru.

Laporan The Conversation sebelumnya menyebutkan, meningkatnya praktik kumpul kebo atau kohabitasi ini disebabkan oleh pergeseran pandangan soal relasi dan pernikahan. Banyak anak muda yang kini menganggap pernikahan terlalu normatif dan penuh aturan, sementara 'kumpul kebo' dipandang sebagai bentuk hubungan yang lebih murni dan tulus.

Di wilayah Asia, yang masih menjunjung tinggi norma budaya dan agama, praktik tinggal bersama tanpa menikah masih dianggap tabu. Jika pun terjadi, kohabitasi biasanya berlangsung singkat dan dianggap sebagai masa transisi menuju pernikahan.

Namun, situasinya berbeda di Indonesia. Studi berjudul The Untold Story of Cohabitation (2021) mengungkapkan kohabitasi lebih sering ditemukan di kawasan Indonesia Timur yang mayoritas penduduknya non-Muslim. Peneliti dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Yulinda Nurul Aini, menyoroti fenomena ini lewat risetnya di Manado, Sulawesi Utara.

Menurut Yulinda, ada tiga alasan utama pasangan di Manado memilih untuk tinggal bersama tanpa menikah, diantaranya beban finansial, rumitnya proses perceraian, dan penerimaan sosial di lingkungan sekitar.

"Hasil analisis saya terhadap data dari Pendataan Keluarga 2021 (PK21) milik Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) 0,6 persen penduduk kota Manado, Sulawesi Utara, melakukan kohabitasi," ungkap Yulinda beberapa saat lalu.

Dari kelompok tersebut, kata ia, 1,9% diantaranya sedang hamil saat survei dilakukan, 24,3% berusia di bawah 30 tahun, 83,7% berpendidikan maksimal SMA, 11,6% tidak bekerja, dan 53,5% lainnya bekerja di sektor informal.

Dampak Buruk Kohabitasi

Yulinda menjelaskan, kohabitasi paling berdampak negatif terhadap perempuan dan anak. Tidak adanya ikatan hukum membuat posisi perempuan lebih rentan, terutama dalam aspek finansial dan perlindungan hukum.

"Jika pasangan kohabitasi berpisah, tidak ada aturan hukum yang mengatur pembagian harta, hak nafkah, warisan, hingga hak asuh anak," katanya.

Selain itu, kohabitasi juga dapat menurunkan kepuasan hidup dan memicu masalah kesehatan mental, karena minimnya komitmen dan ketidakpastian masa depan.

Data PK21 mencatat, 69,1% pasangan kohabitasi pernah mengalami konflik verbal, 0,62% mengalami konflik serius seperti pisah ranjang, dan 0,26% mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

Anak-anak yang lahir dari hubungan ini juga menghadapi risiko tambahan. Mereka lebih rentan mengalami gangguan tumbuh kembang, serta mengalami tekanan emosional akibat stigma sosial.

"Anak bisa merasa tidak diakui dan mengalami kebingungan identitas, bahkan mendapat diskriminasi dari keluarga sendiri karena statusnya dianggap 'anak haram'," jelas Yulinda.

Situasi ini, menurutnya, menyulitkan anak untuk merasa memiliki tempat dalam struktur keluarga maupun masyarakat.


(hsy/hsy)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Fenomena Kumpul Kebo Makin Ramai di RI, Paling Marak Bukan di Jakarta

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular