
Menkes Ungkap Provinsi dengan Angka Stunting Tertinggi di Indonesia

Jakarta, CNBC Indonesia - Stunting masih menjadi masalah kesehatan serius di Indonesia. Menteri Kesehatan (Menkes) RI Budi Gunadi Sadikin mengungkap ada sejumlah daerah dengan angka kasus stunting yang besar, yakni Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Sulawesi Selatan.
Provinsi-provinsi tersebut telah menjadi fokus utama Pemerintah dalam memerangi stunting. Jika wilayah-wilayah ini berhasil ditekan, maka angka stunting nasional bisa ikut turun.
Menkes menyoroti 11% kasus stunting bermula dari kondisi bayi saat lahir, dan 10-11% lainnya terjadi pada masa setelah ASI eksklusif, yakni usia 6 hingga 24 bulan. Oleh karena itu, masa 1.000 hari pertama kehidupan anak dinilai sangat krusial.
"Kalau tidak ada yang bantu ibu, bayi lahir bisa langsung masuk dalam siklus stunting," kata Menkes dalam Raker bersama Komisi IX DPR RI dengan Menteri Kependudukan dan Keluarga, BPOM dan Badan Gizi Nasional di DPR Senayan, Jakarta, Selasa (1/7/2025).
"Makanya kita harus intervensi mulai dari masa kehamilan hingga pemberian makanan tambahan setelah ASI," ujarnya menambahkan.
Perlu dipahami, stunting adalah masalah kurang gizi kronis akibat pemberian makanan yang tidak sesuai dengan kebutuhan gizi. Stunting dapat terjadi mulai janin masih dalam kandungan dan baru nampak saat anak berusia dua tahun
Pemerintah pun, kata Menkes, telah menetapkan 11 intervensi spesifik, seperti pemberian tablet tambah darah pada remaja putri dan ibu hamil, pemantauan berat badan balita, serta pengukuran konsumsi gizi mikro. Semua langkah ini telah dijalankan lewat koordinasi lintas kementerian dan dinas kesehatan daerah.
Tahun ini, Kementerian Kesehatan RI menargetkan menjangkau lebih dari 3 juta anak dengan alokasi anggaran hingga Rp1,9 triliun. Ini merupakan lompatan besar dibanding tahun lalu yang hanya menjangkau 700 ribu anak dari target 3,7 juta.
Menkes juga menekankan pentingnya pengawasan kualitas makanan anak. Kementeriannya telah menetapkan standar isi dan cara pengolahan makanan, terutama makanan siap saji yang disediakan di sekolah. Pengawasan dilakukan oleh dinas kesehatan provinsi dan kabupaten/kota.
"Yang penting bukan cuma makanannya tersedia, tapi isinya harus bergizi dan cara memasaknya juga sesuai standar," tegasnya.
Kepala BKKBN: Intervensi Harus Dimulai Sebelum Anak Lahir
Senada dengan Menkes, Menteri Kependudukan dan Pembangunan/Kepala BKKBN, Wihaji menyatakan, upaya menurunkan stunting tidak bisa ditangani oleh sektor kesehatan saja. Ia menyebut hanya 30% intervensi yang berasal dari sektor kesehatan, sementara 70% lainnya merupakan intervensi sensitif seperti pendidikan, sosial, dan pemberdayaan keluarga.
"Remaja putri sebelum menikah sudah harus diberi edukasi dan tablet tambah darah. Saat hamil, ibu harus rutin minum zat besi. Ini semua harus terukur dan terdata," ujar Wihaji.
Ia menjelaskan, dua masa paling krusial dalam mencegah stunting adalah saat bayi lahir dan setelah masa ASI eksklusif. "Makanan tambahan setelah usia enam bulan sangat penting. Jika tidak terpenuhi, anak sangat rentan stunting," ungkapnya.
BKKBN juga menargetkan programnya bisa menjangkau hingga 3,7 juta anak dengan alokasi anggaran mencapai Rp1,9 triliun. Fokusnya masih sama, yakni pada 6-7 provinsi dengan kasus tertinggi secara nominal seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Sulawesi Selatan.
Wihaji mengingatkan peran dinas di daerah sangat vital dalam keberhasilan program ini. "Kita tak bisa hanya mengandalkan pusat. Dinas kesehatan, dinas sosial, semuanya harus aktif. Ini bukan kerja satu lembaga," tegasnya.
Anggaran Besar Belum Efektif, Perlu Reformulasi Target
Sementara itu, Anggota Komisi IX DPR RI, Edy Wuryanto, menyambut baik penurunan angka stunting menjadi 19,4%. Namun, ia mengkritik pencapaian itu sebagai masih jauh dari target awal pemerintah sebesar 14% pada 2024. Ia juga menilai program Percepatan Penurunan Stunting (PPS) selama lima tahun terakhir belum efisien dan belum berdampak signifikan.
"Dengan anggaran besar seperti yang dialokasikan melalui PPP 72, hasilnya belum sesuai harapan. Harusnya bisa jauh lebih baik," ujar Edy dalam kesempatan yang sama.
Ia juga menyoroti masih rendahnya jangkauan program untuk ibu hamil dan menyusui, yang masing-masing hanya menyentuh 0,5% dari penerima manfaat, padahal mereka adalah kelompok paling kritis dalam pencegahan stunting. Ia mendesak agar target dan indikator program dirombak agar lebih berdampak pada perbaikan gizi dan kesehatan nyata di masyarakat.
Edy bahkan menyarankan agar penyediaan makanan tambahan, baik dari Kemenkes, BGN, maupun program lain, dievaluasi kembali. Ia menilai banyak bantuan makanan yang tidak tepat sasaran dan kurang berdampak karena pemilihan bahan pangan yang tidak sesuai kebutuhan lokal.
"Kalau mau efektif, makanan tambahan harus sesuai budaya dan kebutuhan lokal, bukan sekadar roti yang akhirnya malah dibagi ke tetangga atau dibakar," ujarnya.
Edy juga menekankan pentingnya pembagian peran yang jelas antara pemerintah pusat, badan gizi nasional, dan kepala daerah dalam pengawasan keamanan dan kualitas pangan. Menurutnya, masih banyak bupati dan wali kota yang enggan terlibat aktif karena menganggap program stunting sebagai urusan pusat.
"Padahal UU sudah jelas. Menteri Kesehatan, kepala daerah, dan kepala badan terkait semua punya tanggung jawab. Jangan lempar-lemparan," tegasnya.
(hsy/hsy)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Waspada! Anak Sering Diare Bisa Tingkatkan Risiko Stunting
