
Saat 2 WNI Dihukum Mati Usai Ledakkan Jantung Kota di Negara Tetangga

Jakarta, CNBC Indonesia - Tepat hari ini, 57 tahun lalu, dua warga negara Indonesia, Usman Janatin dan Harun Thohir, meregang nyawa di tiang gantung di Penjara Changi, Singapura. Keduanya menjadi orang Indonesia pertama yang dieksekusi mati di Negeri Singa. Hukuman itu tak lepas dari peristiwa kegaduhan imbas ledakan besar yang mengguncang jantung Singapura pada 10 Maret 1965.
Usman dan Harun sejatinya adalah anggota Korps Komando Operasi (KKO) yang menjadi bagian dari TNI Angkatan Laut. Keduanya bergabung sejak 1 Juni 1962 atau ketika Indonesia berada dalam masa Konfrontasi Indonesia-Malaysia.
Menurut Linda Sunarti dalam Persaudaraan Sepanjang Hayat?: Mencari Jalan Penyelesaian Damai Konfrontasi Indonesia-Malaysia 1963-1966 (2014), konfrontasi ini lahir dari kebijakan Presiden Soekarno (1945-1966) yang menentang pembentukan Federasi Malaysia.
Soekarno memandang negara baru di utara Indonesia itu sebagai bentuk penjajahan gaya baru yang didalangi Inggris dan berpotensi mengancam kedaulatan Indonesia. Dalam rangka menentang hal itu, dia mengerahkan operasi militer dan salah satu misinya adalah sabotase di wilayah Singapura. Kala itu, Singapura jadi bagian dari Federasi Malaysia.
Untuk menjalankan misi, mengutip Salim Said dalam Dari Gestapu ke Reformasi (2013), pada awal Maret 1965, pihak militer mencari tiga orang sukarelawan. Ketiganya bakal diminta melumpuhkan pusat-pusat vital dengan bahan peledak guna menciptakan kepanikan. Dari sejumlah prajurit, tiga orang kemudian bersedia, yakni Usman Janatin, Harun Thohir, dan Gani bin Arup.
Pada 8-9 Maret 1965, ketiganya berhasil masuk ke pusat kota Singapura dengan kapal kecil dan menyamar sebagai pedagang. Profesi ini dipilih karena mudah lalu-lalang tanpa perlu dicurigai polisi. Apalagi mereka juga membawa 12,5 Kg bahan peledak.
Mengutip buku The Singapore Foreign Service (2005), rencana awal dari pimpinan hanya meledakkan gardu listrik, tetapi saat pelaksanaan ketiganya sepakat tidak menjalankan misi awal dan memilih menargetkan Macdonald House. Gedung yang difungsikan sebagai bank dan kantor ini berada di Orchard Road dan dekat Istana Kepresidenan. Dengan meledakkan gedung tersebut, maka dampaknya bisa lebih besar.
Akhirnya, pada 10 Maret 1965, sebuah tas berisi bom diletakkan di dalam gedung tersebut. Tak lama kemudian, ledakan dahsyat mengguncang kawasan Orchard. Bangunan itu luluh lantak, mobil-mobil di depannya hancur, dan kaca gedung sekitar pecah berserakan. Tiga orang tewas, sementara 33 lainnya luka-luka. Ledakan itu menjadi salah satu peristiwa paling menggemparkan di Singapura kala itu.
Usai menjalankan misi, Usman, Harun, dan Gani berusaha melarikan diri dengan perahu menuju Batam. Namun, mesin perahu mereka mati di tengah laut dan akhirnya tertangkap oleh aparat Singapura. Gani berhasil lolos, tetapi Usman dan Harun ditangkap dan dijebloskan ke penjara.
Pada 20 Oktober 1966, pengadilan Singapura menjatuhkan vonis mati kepada keduanya. Pemerintah Indonesia melakukan berbagai upaya diplomatik dan memohon grasi kepada pemerintah Singapura dan Inggris. Namun, semua usaha itu gagal bahkan setelah konfrontasi berakhir dan pemerintahan juga sudah berganti dari Soekarno ke Soeharto.
Akhirnya, pada 17 Oktober 1968, Usman dan Harun digantung di Penjara Changi. Jenazah mereka kemudian dibawa pulang ke Indonesia dan disambut sebagai pahlawan bangsa. Ribuan orang mengiringi pemakaman mereka di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.
Pada hari yang sama, lewat Keputusan Presiden No. 050/TK/1968, pemerintah menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional serta Bintang Sakti kepada keduanya. Pangkat mereka pun dinaikkan secara anumerta.
Namun sejarah memang selalu punya dua sisi. Di Indonesia, mereka dikenang sebagai pahlawan yang gugur dalam tugas negara. Sedangkan, di Singapura, keduanya dipandang sebagai pelaku teror yang menewaskan warga sipil. Titik balik hubungan kedua negara pasca kejadian itu terjadi pada 1973. Kala itu, Presiden Singapura Lee Kuan Yew datang ke TMP Kalibata dan menabur bunga di makam Usman dan Harun yang membuat kerenggangan itu dianggap selesai.
Meski begitu, mengutip Detik.com, pada 2014, Singapura sempat melakukan protes kembali usai TNI AL ingin menamai salah satu kapal perangnya dengan Usman-Harun karena dianggap melukai perasaan publik Singapura.
(mfa/mfa) Next Article Beda! Anak Pejabat RI Ini Pilih Berjuang Tanpa Nebeng Nama Ortu
