CNBC Insight

Reshuffle Kabinet Presiden Pertama RI, Lantik Menteri Kontroversi

MFakhriansyah, CNBC Indonesia
09 September 2025 11:20
Sidang Tahunan 2025 di Gedung MPR/DPR RI, Jakarta, Jumat (15/8/2025). (Tangkapan Layar Youtube/DPR RI)
Foto: Sidang Tahunan 2025 di Gedung MPR/DPR RI, Jakarta, Jumat (15/8/2025). (Tangkapan Layar Youtube/DPR RI)

Jakarta, CNBC Indonesia - Presiden Prabowo Subianto melakukan reshuffle personel Kabinet Merah Putih pada Senin (8/9/2025). Tercatat ada lima menteri yang diganti, yakni Menteri Koordinator Politik dan Keamanan, Menteri Keuangan, Menteri Perlindungan Pekerja Migran Indonesia, Menteri Koperasi, serta Menteri Pemuda dan Olahraga.

Pergantian menteri merupakan hal lumrah dalam sistem eksekutif dan menjadi hak prerogatif presiden. Sejarah mencatat praktik reshuffle kabinet sudah berlangsung sejak awal kemerdekaan Indonesia dan menjadi bagian dari dinamika politik nasional.

Lalu, bagaimana kisah reshuffle pertama kali terjadi di RI?

Reshuffle kabinet pertama kali dilakukan oleh Presiden Soekarno saat Indonesia memasuki era Demokrasi Terpimpin (1959-1965). Pada Februari 1966, Soekarno merombak Kabinet Dwikora I dan kemudian menamainya sebagai Kabinet Dwikora II. Ini terjadi di tengah demonstrasi besar-besaran mahasiswa di Jakarta yang menuntut perubahan menyeluruh karena kondisi negara makin memprihatinkan.

Menurut kesaksian Soe Hok Gie dalam Zaman Peralihan (2005), sejak akhir 1965 harga bahan pangan tak terkontrol dan meningkat hingga ratusan persen. Begitu juga harga bensin yang naik dari Rp400 ke Rp1.000. Ini jelas membuat rakyat makin terhimpit. Terlebih, situasi politik pasca kejadian Gerakan 30 September 1965 sangat tidak stabil.

Namun, pemerintah bergerak lamban. Soe Hok Gie mencatat, Soekarno dinilai tak sigap mengatasi persoalan. Akhirnya ribuan mahasiswa turun ke jalan membawa tiga tuntutan, yakni pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI), perombakan Kabinet Dwikora, dan penurunan harga. Kelak, tuntutan itu dikenal dengan sebutan Tritura atau Tri Tuntutan Rakyat.

Berbagai desakan tersebut akhirnya memaksa Soekarno mengambil langkah terakhir, yakni melakukan reshuffle kabinet pertama kali dalam sejarah Indonesia. Pada 12 Februari 1966, Soekarno merombak Kabinet Dwikora. Meski begitu, dia menolak anggapan reshuffle dilakukan karena tekanan demonstrasi.

"Disesuaikan dengan tingkatan revolusi pada waktu ini. Itulah yang menjadi sebab saya mengadakan reshuffle daripada Kabinet Dwikora ini. Bukan oleh karena tuntutan, bukan oleh karena demonstrasi-demonstrasi yang gila-gilaan!" kata Soekarno dalam Revolusi Belum Selesai: Kumpulan Pidato Presiden Sukarno 30 September 1965-Pelengkap Nawaksara (2014).

Namun, sejarawan Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern (2008) menganalisis, upaya reshuffle kabinet merupakan langkah Soekarno mempertahankan Demokrasi Terpimpin dan kekuasaannya. Pada akhirnya, kabinet baru tersebut berisi 100-an menteri dan pembantu presiden setingkat menteri. Atas dasar ini, sejarah mencatatnya sebagai 'Kabinet 100 Menteri'.

Salah satu nama yang menarik perhatian adalah Imam Syafiie, yang diangkat sebagai Menteri Urusan Keamanan Jakarta.

Menurut Robert Cribb dalam Para Jago dan Kaum Revolusioner Jakarta 1945-1949 (2010), Imam Syafiie atau Bang Pi'ie dulunya adalah preman Pasar Senen sekaligus pemimpin organisasi preman dan bandit bernama Cobra. Cobra bertugas menjaga keamanan dan ketertiban wilayah Jakarta dengan memobilisasi para laskar, preman dan bandit untuk berjaga.

Soekarno berharap pengangkatan Syafiie bisa meredam demonstrasi di Jakarta. Namun, harapan itu gagal. Demonstrasi mahasiswa tetap berlangsung karena reshuffle dianggap tidak memenuhi tuntutan mereka, terutama karena masih ada tokoh yang terkait dengan PKI, seperti Omar Dani dan Soebandrio.

Gelombang protes semakin besar dan melibatkan berbagai elemen masyarakat. Situasi kian tak terkendali hingga akhirnya Soekarno mengeluarkan Surat Perintah 11 Maret (Supersemar). Surat itu memberi mandat kepada Jenderal Soeharto untuk mengendalikan keamanan dan ketertiban negara.

Sejarah mencatat, keluarnya Supersemar menjadi titik balik. Kekuasaan Soekarno mulai meredup, sementara posisi Soeharto justru semakin menguat hingga menjadi Presiden ke-2 RI pada 1968.

Naskah ini merupakan bagian dari CNBC Insight, rubrik yang menyajikan ulasan sejarah untuk menjelaskan kondisi masa kini lewat relevansinya di masa lalu. Lewat kisah seperti ini, CNBC Insight juga menghadirkan nilai-nilai kehidupan dari masa lampau yang masih bisa dijadikan pelajaran di hari ini.

(mfa/wur) Next Article Saat Negara Asia-Afrika Bersatu Hadapi Dominasi Kekuatan Besar Dunia

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular