CNBC Insight

Kronologi Nasib Aceh Sampai ke Helsinki, Awalnya Temuan Harta Karun

MFakhriansyah, CNBC Indonesia
16 August 2025 19:15
Hamid Awaluddin, Martti Ahtisari dan Malek Mahmud saat menyepakati perjanjian damai RI dan GAM di Smolna Goverment Banquet Hall, Finlandia (15 Agustus 2005). (Istimewa)
Foto: Hamid Awaluddin, Martti Ahtisari dan Malek Mahmud saat menyepakati perjanjian damai RI dan GAM di Smolna Goverment Banquet Hall, Finlandia (15 Agustus 2005). (Istimewa)

Jakarta, CNBC Indonesia - Tepat 15 Agustus 2005, atau 20 tahun silam, tercapai salah satu kesepakatan damai paling bersejarah di dunia. Setelah puluhan tahun dilanda konflik bersenjata, Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) akhirnya sepakat mengakhiri pertikaian.

Kesepakatan yang dikenal dengan Perjanjian Helsinki itu menandai berakhirnya perang panjang di Aceh, penarikan pasukan militer dari daerah tersebut, serta pengakuan Aceh sebagai daerah istimewa.

Perdamaian di Aceh bukan hanya menutup bab panjang konflik bersenjata, tetapi juga menjadi cermin penting bagi Indonesia. Sejarah konflik di Aceh memberi pelajaran terkait keadilan, pemerataan, dan penyelesaian konflik yang harus menitikberatkan pada dialog.

Bermula dari Ketimpangan 'Harta Karun'

Tahun 1971, kabar menggembirakan datang dari Aceh. Perusahaan Amerika Serikat, Mobil Oil, menemukan cadangan minyak dan gas baru di Aceh Utara. Penemuan ini segera disusul dengan eksploitasi besar-besaran.

Namun, alih-alih membawa kesejahteraan, eksploitasi sumber daya alam itu justru memunculkan ketimpangan. Hasil keuntungan lebih banyak mengalir ke Jakarta, sementara rakyat Aceh tetap hidup dalam kemiskinan. Kondisi ini menimbulkan kekecewaan mendalam.

Enam tahun kemudian, ketegangan itu pecah. Sekelompok bersenjata menyerang fasilitas eksploitasi hingga menewaskan sejumlah orang. Kelompok inilah yang kelak menamai dirinya Gerakan Aceh Merdeka (GAM).

GAM dipimpin oleh Teungku Hasan Muhammad di Tiro, atau Hasan Tiro. Menurut Michael L. Ross dalam riset berjudul Resources and Rebellion in Aceh, Indonesia (2005), Hasan Tiro mendirikan GAM dilatarbelakangi rasa ketidakadilan.

Dia menilai Aceh adalah wilayah kaya raya yang justru terpinggirkan di dalam Republik Indonesia. Banyak penduduknya menderita sebab kekayaannya mengalir ke Jawa. Bahkan, perusahaan yang beroperasi di Aceh jarang sekali merekrut tenaga kerja lokal, melainkan mendatangkan pekerja dari luar.

Hasan Tiro juga mengangkat realitas sejarah dalam perjuangannya. Sejak ribuan tahun lalu, Aceh dikenal sebagai pusat rempah-rempah yang menjadikan wilayah ini penting di jalur perdagangan dunia. Bahkan, pada 1832 militer Amerika Serikat pernah menyerang Aceh demi memperebutkan rempah.

Di era kolonial, Aceh adalah daerah terakhir yang berhasil ditaklukkan Belanda. Itu pun baru setelah melalui Perang Aceh selama lebih dari 30 tahun.

Pada masa awal kemerdekaan, Aceh kembali menunjukkan peran penting. Daerah ini memberi dukungan politik dan finansial bagi pemerintah pusat. Presiden Soekarno kala itu menjanjikan status daerah istimewa, terutama dalam hal agama dan hukum adat. Namun janji itu tak kunjung terealisasi, meninggalkan kekecewaan mendalam.

Situasi itulah yang akhirnya mendorong Hasan Tiro mendeklarasikan pendirian GAM pada 4 Desember 1976. Tujuannya mengembalikan Aceh pada masa kejayaannya.

Pemerintah pusat tentu tidak tinggal diam. Operasi militer digencarkan di Aceh. Pada awalnya, GAM kesulitan menghadapi kekuatan militer negara. Namun, sejak 1980-an, mereka kian solid berkat pelatihan militer di luar negeri, dukungan dari jaringan internasional, serta penyebaran propaganda.

Menurut Kirsten E. Schultze dalam The Free Aceh Movement (GAM): Anatomy of a Separatist Organization (2004), faktor-faktor itu membuat GAM semakin tangguh dan mampu melakukan perlawanan sengit.

Ketegangan pun kian meningkat. Pada 1990-an, pemerintah menetapkan Aceh sebagai Daerah Operasi Militer (DOM). Pertempuran berlangsung intens, menelan banyak korban jiwa, baik dari pihak militer, GAM, maupun warga sipil.

Jalan Menuju Damai

Hingga awal 2000-an, konflik Aceh masih berlarut. Upaya perdamaian berkali-kali gagal karena kedua pihak sama-sama mengedepankan senjata. Namun, gempa bumi dan tsunami dahsyat yang melanda Aceh pada 26 Desember 2004 mengubah segalanya. Bencana itu membuka ruang baru untuk rekonsiliasi.

Pada 27 Februari 2005, perwakilan GAM dan pemerintah RI memulai perundingan di Vantaa, Finlandia. Mantan Presiden Finlandia Martti Ahtisaari menjadi mediator. Setelah perundingan maraton selama 25 hari, kesepakatan pun tercapai.

Puncaknya, pada 15 Agustus 2005, kedua pihak menandatangani nota kesepahaman damai di Helsinki. Sejak saat itu, senjata diturunkan, pasukan ditarik, dan Aceh resmi diakui sebagai daerah istimewa.

Khusus masalah ketimpangan, Aceh sendiri kemudian mendapat distribusi pembagian keuntungan dengan pemerintah pusat paling besar di banding daerah lain. 

Naskah ini merupakan bagian dari CNBC Insight, rubrik yang menyajikan ulasan sejarah untuk menjelaskan kondisi masa kini lewat relevansinya di masa lalu. Lewat kisah seperti ini, CNBC Insight juga menghadirkan nilai-nilai kehidupan dari masa lampau yang masih bisa dijadikan pelajaran di hari ini.

(mfa/mfa)

Tags
Recommendation
Most Popular