CNBC Insight

Serangan Harimau Teror Warga Jakarta, 800 Orang Pemburu Turun Tangan

MFakhriansyah, CNBC Indonesia
29 July 2025 17:20
Petugas kesehatan mengambil sempel hasil swab Harimau Sumatera di Taman Margasatwa Ragunan, Jakarta, Senin (2/8/2021).   (CNBC Indonesia/ Tri Susilo)
Foto: Ilustrasi Harimau (CNBC Indonesia/ Tri Susilo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Populasi harimau liar di dunia terus menurun dan kini hanya tersisa sekitar 4.000 ekor. Sebagai makhluk paling dominan di muka Bumi, manusia memegang peran besar dalam penurunan ini. Mulai dari perburuan hingga perusakan habitat.

Atas dasar keprihatinan ini, setiap tanggal 29 Juli, tepat hari ini, dunia memperingati Hari Harimau Internasional guna meningkatkan kesadaran akan pentingnya upaya konservasi terhadap satwa langka tersebut.

Di Indonesia, perburuan harimau telah berlangsung sejak ratusan tahun lalu. Meski kerap dilakukan atas alasan keselamatan manusia, praktik ini berkontribusi besar terhadap menurunnya populasi harimau dari tahun ke tahun.

Salah satu perburuan terjadi di Jakarta (dahulu Batavia) sebagai respons atas berkeliarannya hewan buas tersebut di jalanan kota.

Bagaimana kisahnya?

Ratusan tahun lalu, Jakarta masih berupa hutan lebat. Hanya sebagian kecil wilayah yang dihuni manusia. Sementara sisanya dipenuhi oleh satwa liar, termasuk harimau Jawa.

Dalam kondisi seperti itu, penduduk tidak hanya hidup di bawah tekanan sistem kolonialisme, tetapi juga menghadapi ancaman nyata dari harimau yang berkeliaran bebas.

Sejarawan Peter Boomgaard dalam bukunya Frontiers of Fear (2001) mencatat, dalam kurun waktu antara 1633 hingga 1687, atau tiga dekade pertama kekuasaan VOC, terdapat setidaknya 30 laporan tentang orang yang dibunuh atau diserang harimau.

Kebanyakan serangan terjadi di sekitar kebun tebu, yang kala itu menjadi habitat populer harimau. Selain rimbun dan tersembunyi, ladang tebu juga kerap menjadi tempat berkeliarannya makanan harimau, yakni babi.

Pada 1644, seorang warga China diceritakan tewas diserang dari belakang oleh harimau saat berburu bersama beberapa tentara di siang hari. Namun, serangan tidak hanya terjadi di ladang.

Di kawasan terbuka seperti jalanan, harimau juga berkeliaran. Tahun 1659, Boomgaard mencatat 14 orang menjadi korban serangan harimau di Ancol dalam waktu hampir bersamaan.

"Mereka diserang, dan ada yang diseret dari jalanan ke hutan. Rekan-rekannya yang masih selamat melepaskan beberapa tembakan hingga harimau melepaskan korban," tulis Boomgaard.

Tak hanya menyerang warga lokal, harimau juga mengincar orang Eropa. Korban pertama dari kalangan Eropa yang tercatat namanya adalah Louis van Brussel. Dia tewas diterkam harimau pada tahun 1668. 

Tentu, catatan Boomgaard hanya gunung es. Di luar sana, masih banyak orang jadi korban serangan harimau yang tidak tercatat. Atas situasi yang semakin mengancam ini, pemerintah kolonial pun mengambil tindakan. Perburuan harimau digelar sebagai langkah perlindungan bagi penduduk dan pekerja di sekitar Jakarta.

Pemerintah Turun Tangan

Sejarawan Hendrik E. Niemeijer dalam Batavia, Masyarakat Kolonial Abad XVII (2012) mencatat pada tahun 1644, VOC pernah mengerahkan sekitar 800 orang untuk memburu harimau. Hewan-hewan buas itu kemudian dibunuh dan bangkainya dipamerkan di depan Balai Kota, yang kini berada di kawasan Kota Tua, Jakarta.

Tak hanya melibatkan pasukan resmi, VOC juga mengajak masyarakat sipil untuk ikut serta dalam perburuan. Sebagai imbalannya, VOC memberikan hadiah uang tunai yang jumlahnya bervariasi. Alias tergantung pada ukuran dan tingkat keganasan harimau yang ditangkap.

Menurut catatan sejarawan Peter Boomgaard, untuk harimau biasa hadiah yang diberikan sekitar 10 ringgit. Nominal ini cukup untuk memenuhi kebutuhan beras satu keluarga selama setahun.

Insentif ini mendorong banyak orang melakukan perburuan secara mandiri demi meraih keuntungan. Akibatnya, populasi harimau menyusut drastis. Boomgaard mencatat setiap tahun lebih dari 50 harimau terbunuh hanya di sekitar Batavia.

Populasi harimau yang semakin terdesak akhirnya bermigrasi ke wilayah lain yang masih berhutan, seperti Banten dan Bogor (dahulu Buitenzorg).

Namun, perburuan tak berhenti di Jakarta. Di berbagai wilayah Jawa, perburuan harimau juga berlangsung secara masif, terutama dengan alasan keamanan penduduk.

Dalam riset berjudul "The Last Tiger in East Java: Symbolic Continuity in Ecological Change" (1995) antropolog R. Wessing menjelaskan, perburuan harimau disebabkan oleh perubahan peta ekonomi di Jawa. Masifnya pembukaan hutan untuk keperluan perkebunan dan ekonomi kolonial memicu gesekan antara hewan buas itu dan manusia.

Akibatnya, konflik pun tak terelakkan. Harimau menyerang ternak dan manusia dengan rata-rata korban jiwa mencapai 2.500 orang per tahun. Demi alasan keamanan, manusia lantas berburu harimau. 

Alhasil, perburuan yang berlangsung selama bertahun-tahun membuat populasi harimau, khususnya harimau Jawa, menurun drastis. Pada 1940, diperkirakan hanya tersisa 200-300 ekor. Jumlah ini terus menyusut hingga harimau Jawa dinyatakan punah pada 1980-an.

Naskah ini merupakan bagian dari CNBC Insight, rubrik yang menyajikan ulasan sejarah untuk menjelaskan kondisi masa kini lewat relevansinya di masa lalu. Lewat kisah seperti ini, CNBC Insight juga menghadirkan nilai-nilai kehidupan dari masa lampau yang masih bisa dijadikan pelajaran di hari ini.

(mfa/mfa) Next Article Tragedi Baju Lebaran Berakhir Pembunuhan, Heboh di Zaman Belanda

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular